Lihat ke Halaman Asli

Tiga Ksatria

Diperbarui: 27 November 2023   12:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sekali lagi, Sulis menilik secara teliti rangkaian huruf-huruf yang tersusun secara acak di bilah batu yang tadi dilemparkan Uguh.  Tak ada satupun yang ia mengerti. Tak pernah sekalipun ia melihat huruf-huruf itu sebelumnya.

            "Segera letakan batu ini di dinding gua yang tak jauh dari lereng Gunung Sanghyang Sunda. Aku akan menyelesaikan urusanku dengan Ki Midang di pendapa Kedemangan!"

            Perintah Uguh untuk terakhir kalinya, setelah melemparkan batu itu ke arah Sulis. Tak lama, laki-laki berperawakan tegap itu kembali berlari lalu hilang ditelan pekat. Sulis masih mendekap batu itu. Erat, seolah memeluk sebongkah permata.

            "Lantas, apa yang harus kita lakukan sekarang Sulis?" tanya Rambe memecah hening.

            Lamat-lamat di kejauhan, suara burung hantu terdengar saling menimpal. Sulis masih bungkam. Pikirannya melayang, mengangkasa tak berarah. Entahlah. Sulis tak yakin dengan apa yang ada dalam benaknya saat ini. Inginnya dia menghilang atau tiba-tiba tertelan bongkahan tanah. Sejujurnya ia takut. Namun besarnya tanggung jawab, membuat dia harus membuang rasa itu jauh-jauh.

            Haaahh!

            Sulis menarik nafas dalam. Selaksa uap menyembur dari lubang hidungnya. Malam ini udara tak begitu dingin, hanya saja kabut nampak serentak bergelayut di pokok pohon dan menjejaring di sela-sela daun. Sekali lagi maniknya menatap lekat bilah batu yang sejak tadi ia dekap. Di antara celah awan yang berarak, tersembul rembulan yang temaram dengan malu-malu. 

            "Sebaiknya kita segera pergi dari sini, sebelum murid-murid Ki Midang datang menangkap kita!"

            Suara Sulis pelan, nyaris tak terdengar. Lalu tangannya meraih secarik kain yang melilit batang tombak. Dengan gemetar, ia bentangkan kain itu lalu bilah batu yang tadi dilemparkan Uguh, ia bebat penuh hati hati. Ruas jemarinya sekali lagi mengelus bungkusan itu, sebelum kemudian pelan-pelan memasukannya ke dalam koja yang tersandang di bahu.

            "Ayo, Rambe...sebelum matahari meninggi, kita sudah harus sampai di lereng gunung!"

            Ajak Sulis ke arah Rambe yang sedari tadi tetap teguh berdiri di dekatnya dengan penuh waspada. Rambe mengangguk. Tak lama, mereka berlari cepat, melesat di sela-sela rumpun bambu yang tumbuh berderet. Derap kaki mereka, gemerisik menimpa dedaunan kering yang terhampar. Dalam sekejap, tempat di mana Sulis dan Rambe tadi berdiri, kini kembali senyap. Kunang kunang mulai berkejaran. Sementara satu dua tikus hutan, kembali berlarian di antara akar dan belukar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline