Lihat ke Halaman Asli

Seindah Bunga Matahari

Diperbarui: 8 Mei 2023   11:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kita orang miskin, Nok... tak pantas punya mimpi ketinggian!" suara perempuan paruh baya itu, terdengar parau di antara kepulan asap rokok yang berhamburan di celah bibir hitamnya yang bergincu. Telapak tangan kasarnya, mengoleskan seulas bedak cair dan mengusapkannya kuat-kuat pada area pipi seorang gadis yang terduduk dengan raut wajah pasrah.

            "Buka mulutnya!" perintah perempuan itu lalu mengoleskan gincu merah pada area bibir si gadis yang terbuka lebar. Tak lama, perempuan tadi menyuruh gadis itu berdiri dan mematut pada sebuah cermin buram yang tertaut di balik pintu.

            "Nih kecrekannya... jangan lupa kalengnya ada di kolong meja!" perempuan itu berseru. Tangannya menyorongkan sebilah kayu seruas telapak, yang salah satu ujungnya telah terpasang beberapa lempeng tutup limun. Tangan gadis itu terulur lalu mendekap benda tadi dan meraih sebuah kaleng di bawah kolong meja reyot di sisi pintu. Selendang usang berwarna hijau, membebat pinggang gadis itu. Setelan berbahan beludru merah marun, nampak mencolok membungkus tubuh kurusnya yang coklat kehitaman. Sementara rambutnya yang pirang disasak sekedarnya, lalu diikat karet gelang. Sebuah bunga plastik berwarna kuning terselip di antara gulungan rambut itu.

            Dengan gontai, gadis itu berjalan menyusuri pecahan batu yang berserak di sepanjang rel kereta. Selintas, kepalanya menoleh ke deretan petak kumuh yang berjejer menghiasi pinggiran rel. Triplex usang dan seng berkarat, terangkai membentuk koloni tak beraturan. Di petak-petak itu, setiap malam puluhan manusia membaringkan rasa lelahnya, berjejalan dengan debu dan juga masalah yang beribu. Dan di petak itu pulalah, gadis itu hidup bersama seorang perempuan yang rasanya tak layak di panggil sebagai seorang ibu.

*****

Keringat menderu dari keningnya. Gadis itu terengah, di tengah kasur keras dalam sebuah bangsal. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri. Di mana aku? batinnya berbisik. Pandangannya terpaku pada suasana sekitar, di mana tirai putih dipasang menjuntai menutupi penglihatan.

Sayup-sayup daun telinganya menangkap percakapan dua orang dari balik tirai itu. Dengan nafas yang masih mencekat tenggorokan, susah payah ia membentangkan tangannya, perlahan meraih tirai agar tersingkap. Lilitan selang infus terasa mengganggu geraknya. Ragu-ragu, tirai pun tersingkir pelan. Dia tidak tahu perasaan janggal apa yang membuat hatinya begitu gamang, meski hanya sekedar menyingkap tirai yang telah membuat rasa penasaran merambat dalam hati.

Gadis itu duduk di tepi kasur, mengintip kedua orang yang tengah bercakap, tak jauh dari tempatnya berada. Seorang perempuan paruh baya tampak menggelengkan kepala kesana kemari dengan muram. Selintas perempuan itu menangkap ada sorot mata yang mengintip di balik tirai. Tergopoh perempuan itu mendekat. Kedua tangannya terulur, mendekap gadis itu dengan erat.

"Alhamdulillaaah, akhirnya kamu sudah sadar, Nok!" perempuan itu berseru, suaranya melengking menembus plafon yang disinari neon.

Tak lama pria bersetelan jas putih yang sedari tadi mematung di kursinya, ikut mendekat lalu menepuk bahu gadis itu sambil menebarkan seulas senyum.

"Syukurlah kalau kamu sudah siuman," ucapnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline