Lihat ke Halaman Asli

[Fikber] Randu Asmorojati dan Nawang Wulan

Diperbarui: 27 November 2015   13:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Episode-episode sebelumnya...

Rheinara Yuki (no. 1)

Tepuk tangan riuh menyemarakkan sudut ruangan sebuah toko buku setelah namamu disebut oleh pembawa acara.

Ya, aku sedang berada di acaramu, Randu Asmorojati, acara book signing karya terbarumu. Kamu mengundangku secara khusus. Tadinya aku tidak ingin datang, tapi kamu memaksa. Amat sangat memaksa. Baiklah, lagi pula aku sedang rehat dari kesibukan yang seolah-olah tak ada habisnya.

Dan, sejujurnya, aku pun penasaran dengan reaksi publik, terutama para penggemarmu terhadap buku kelimamu ini. Ada kritikus yang bilang bahwa kamu terlalu berani membuat akhir cerita seperti itu, ada pula yang bilang bahwa kamu sedang menuangkan kegilaanmu, dan yang paling aku suka, yang juga diserukan sebagian besar kritikus, bahwa kamu sebagai sang penulis mengakhiri karyamu dengan rendah diri.

Selama setengah jam lamanya para undangan dan pengunjung toko buku itu mendengarkanmu membacakan bab terakhir dari novelmu yang tebalnya sampai lima ratus halaman itu. Lepas kamu menutup buku, beberapa tangan segera teracung, padahal pembawa acara belum membuka sesi tanya jawab.

“Ran, kenapa ending-nya harus begitu; Rheinara mati dan James alias dr. Jalal yang jahat itu tetap hidup?” tanya seorang gadis jangkung dengan rambut di-highlight biru terang yang aku tahu dia adalah wartawati dari sebuah majalah wanita. Aku pernah diwawancarai gadis itu beberapa bulan lalu. Dan, itu bukan pengalaman yang menyenangkan. “Itu, kan, bertentangan dengan selera pasar. Negeri ini masih haus dengan ending yang bahagia.”

“Seperti itu, ya?” sahutmu.

“Iya, Ran. Sudah terbukti, kok, dengan survey yang dilakukan seorang praktisi penerbitan,” lanjut si wartawati. Entah kenapa, aku jadi ingin mengambil jarum dan benang, merangkainya, lalu menjahit mulut si wartawati. Mungkin karena aku pernah melihat si wartawati itu menggodamu ketika sesi wawancara beberapa tahun lalu. Yeah, mungkin karena itu.

“Mbak Linda yang baik,” kamu mulai bicara sambil membetulkan posisi dudukmu. Tapi, ya, ampun, kenapa nada bicaramu harus seperti itu, sih? “Mbak Linda pernah baca The Appeal milik John Grisham?” tanyamu.

Linda, si wartawati yang memakai blus leher rendah warna peach, rok mini merah tua, dan celana legging hitam, menggeleng dengan wajah bersemu. Aku tahu, dia lebih memilih memegang kuas perona pipi dibanding menyentuh novel setebal milik Grisham.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline