Perjanjian dengan Pelangi
no. 307 Maura Basuki
“Aku lapar!”
Begitu teriak Risya dalam hatinya. Ia merogoh kantong bajunya, tapi tidak menemukan apa-apa. Baru satu jam yang lalu dia membelanjakan sisa uang jajannya di kantin. Lima ribu rupiah ditukar dengan seporsi bakso. Dan, sekarang, dia merasa lapar.
Sebenarnya Risya tidak terlalu lapar. Semangkuk bakso tadi cukup membuat perutnya kekenyangan. Tapi, kenapa tiba-tiba Risya merasa lapar lagi? Ternyata, ia melihat Nova dan Tiara melintas di dekat bangku Risya sambil memegang lolipop pelangi berukuran besar. Risya ingin lolipop itu. Ia tahu di mana membelinya, dan ia juga tahu berapa harganya. Cuma lima ribu rupiah. Tapi, uang lima ribu tadi sudah ia belikan semangkuk bakso.
Nova dan Tiara duduk bangkunya masing-masing, sementara Risya masih saya melihat mereka dengan sikap iri. Tiara berbisik kepada Nova, lalu keduanya tertawa. Risya langsung tahu, Nova dan Tiara sedang menertawakan dirinya. Risya pun kembali menghadap ke depan kelas. Ia berusaha menahan diri agar tidak menangis. Lalu, bel pun berbunyi.
“Ma, boleh Risya minta uang jajan lebih?” tanya Risya sambil melepas sepatu di teras rumah.
“Apa?” Mama Risya berhenti menyemprot angrek-angreknya dan melihat ke arah anaknya. “Minta uang lebih? Memangnya sepuluh ribu sehari masih kurang, Risya?”
Risya menaruh sepatunya di rak.
“Iya, Ma. Boleh ya?! Tambah lima ribu lagi.”
Mama Risya meletakkan botol semprotan di meja, lalu menghampiri Risya yang masih berdiri di dekat pintu.
“Boleh Mama tau, kenapa kamu minta tambahan uang jajan, Risya?”
Risya menunduk, tidak berani melihat wajah ibunya. Ia memainkan ujung tali tasnya sambil mencari-cari jawaban yang tepat kenapa ia meminta tambahan uang jajan.
Mama Risya melipat tangan di dada. Mama Risya mengerti apa yang terjadi dengan Risya. Pasti Risya sedang menginginkan sesuatu, dan sesuatu itu harganya mahal.
“Kamu mau beli sesuatu, Risya?” tanya Mama Risya dengan suara lembut. Suara lantang hanya akan membuat Risya tidak mau menjawab.
Risya menggeleng. Dan, ia masih menunduk. Mama Risya menarik napas. Tidak biasanya Risya bersikap seperti ini, pikirnya.
“Kalau begitu, Mama belum bisa mengabulkan permintaanmu, Risya. Mama yakin, Papa juga nggak mau nambah uang jajan kamu kalau kamu nggak mau bilang uangnya untuk beli apa.”
Risya tetap menunduk.
“Ya, sudah. Nanti kita obrolin lagi. Sekarang, kamu ganti baju, terus makan.”
Risya masuk ke kamarnya, tapi tidak lekas mengganti seragamnya dengan baju rumah. Ia malah duduk di kursi belajarnya, bertopang dagu sambil melihat ranting-ranting pohon mangga yang nampak dari jendela kamarnya di lantai dua. Pelan-pelan, langit mulai bertambah gelap. Lalu, terdengar rintik hujan mengenai daun-daun mangga. Angin dari luar membawa aroma hujan yang sangat Risya gemari.
Ya, Risya suka hujan. Biasanya, ia akan berlari ke teras rumah untuk menikmati hujan. Kecuali, jika hujannya terlalu lebat dan disertai angin kencang, Risya justru akan meringkuk di pelukan ibunya. Membiarkan wajahnya kena percikan air hujan. Dan, setelah hujan selesai, ia akan berlari ke halaman, menyambut pelangi.
***
Bel istirahat nyaring sekali terdengar di telinga Risya. Bunyi belnya riang sekali, pikirnya. Seriang hatinya hari ini. Risya sudah tahu akan membeli apa di kantin nanti. Dengan uang saku lima belas ribu rupiah, Risya punya banyak pilihan. Lima ribu akan ia belikan semangkuk bakso kesukaannya. Dan, sisanya akan ia belikan lolipop pelangi seperti yang pernah dibeli Nova dan Tiara beberapa hari lalu, tapi dengan ukuran yang lebih besar. Harganya pas sepuluh ribu.
Lima menit sebelum bel masuk berbunyi, Risya sudah kembali ke kelas. Di tangannya, tergenggam lolipop pelangi. Sesekali lidahnya menjilat-jilat benda manis berwarna-warni itu. Tak jauh dari meja Risya, Nova dan Tiara sudah duduk di bangkunya masing-masing. Mereka pun sedang menikmati lolipop pelangi, tapi yang ukurannya lebih kecil, yang harganya hanya lima ribu rupiah. Dan, ketika Nova dan Tiara melihat lolipop milik Risya, keduanya terkejut.
“Kenapa kalian?” tanya Risya dengan nada mengejek. “Pengen lolipop kayak punyaku juga?”
Nova dan Tiara tidak menjawab. Tapi, wajah mereka memperlihatkan bahwa mereka sangat iri dengan Risya.
Keesokan harinya, Risya kembali membeli lolipop. Dan ketika kembali ke kelas, Risya terkejut karena Nova dan Tiara memegang lolipop yang lebih besar lagi, serta lebih bagus warnanya.
“Hmm…, rasanya enak ya, Nov,” ujar Tiara pada Nova, sengaja untuk membuat Risya iri.
“Iya, Ra. Ini lebih enak dari yang harganya sepuluh ribu itu. Cuma nambah lima ribu, dapet rasa yang lebih enak. Ukurannya juga lebih besar.”
Risya cuma bisa duduk diam ke bangkunya. Lolipop di tangannya tidak ia habiskan.
Pulang sekolah, Risya kembali menghadap ibunya. Ia bahkan belum mengganti seragamnya dengan baju rumah. Belum pula melepas kaus kakinya. Ibunya yang sedang merapikan meja makan, kaget melihat Risya.
“Kok belum ganti baju, Risya? Ayo ganti dulu, terus makan bareng Mama.”
“Ma….”
“Ya?”
“Boleh Risya minta tambah lagi uang jajannya?”
Mangkuk yang sedang dipegang ibu Risya hampir saja terlepas dari tangan. Lalu, wanita berambut sebahu itu memandang Risya keheranan.
“Baru minggu kemarin kamu minta tambah uang jajan, Risya. Dan Papa terpaksa mengabulkan karena kamu janji mau bantu Mama bersihin halaman belakang tiap sore. Sekarang mau minta nambah lagi. Memang mau buat apa uang segitu banyak tiap harinya?”
Risya berpikir sebentar.
“Risya bisa bantu Mama bikin pesenan cake.”
Mata ibu Risya terbelalak.
“Terus, kapan kamu bisa ngerjain PR, kalau sepanjang sore kamu sibuk bantu Mama?”
Risya menunduk. Perkataan Mamanya memang benar. Membantu membersihkan halaman belakang tidak memakan waktu lama. Halaman itu tidak luas, tapi cukup banyak tempat untuk menanam tomat, cabai, kunir, dan kencur. Dan, Risya hanya perlu menyapu daun-daun mangga yang gugur.
Membuat cake butuh waktu yang lebih lama. Biasanya, ibu Risya akan mulai jam empat sore dan baru selesai jam delapan malam. Itu pun dibantu Dina, anak Bu Syifa, tetangga sebelah rumah Risya.
“Risya. Mama nggak bisa mengijinkan kamu bantuin Mama dan Mbak Dina. Bikin cake itu nggak kayak main masak-masakan. Kalo salah sedikit, cake-nya bisa rusak.”
Risya mulai jengkel dengan sikap Mamanya. Ia tahu membuat cake bukan hal yang mudah, tapi ia tahu apa saja yang harus dilakukan ketika membuat cake. Tak jarang, ia juga memperhatikan ketika ibunya dan Dina sedang membuat cake.
“Kamu juga belum jawab pertanyaan Mama. Buat apa uang jajan segitu banyak tiap harinya?”
“Ya buat jajan di kantin, Ma.”
Lalu, Risya setengah berlari ke kamarnya, sambil menyambar ranselnya yang tadi ia geletakkan begitu saja di ruang tengah.
Setengah jam berlalu, Risya masih di kamarnya. Sebenarnya Risya sangat lapar, tapi ia masih jengkel kepada ibunya. Risya pikir, seharusnya ibunya tidak bersikap sekeras itu.
Risya memandang keluar jendela kamarnya. Langit mulai mendung dan angin bertambah kencang. Kemudian, Risya mendengar ibunya setengah berteriak dari lantai bawah.
“Risya. Mama mau keluar dulu beli mentega di pasar. Kamu cepetan makan, biar nggak sakit perut. Makanannya nggak akan bisa jalan sendiri ke kamarmu, Risya.”
Risya keluar dari kamar, mengintip ibunya dari anak tangga teratas. Risya melihat ibunya sedang merapikan uang. Sebagian dimasukkan dompet, sebagian lagi dimasukkan ke salah satu laci di meja kerja ayahnya. Ibu Risya keluar setelah menyambar satu payung dari keranjang rotan di dekat pintu.
Risya turun pelan-pelan. Sampai di meja kerja ayahnya, Risya membuka laci yang berisi uang tadi. Ia melihat sebuah amplop putih. Di dalam amplop itu ada beberapa lembar uang lima puluh ribuan. Risya terkejut. Ia tidak pernah melihat dan memegang uang sebanyak itu. Buru-buru ia ambil dua lembar dan ia sembunyikan di saku baju seragamnya. Lalu, ia berlari ke kamar.
Selama beberapa hari berikutnya, Risya bisa membeli lolipop yang paling besar yang dijual di kantin sekolah. Dan ketika uang curian itu habis, Risya dengan mudahnya bisa mengambil lagi di tempat yang sama. Begitu terus sampai tiga kali berturut-turut. Dan herannya, ibu dan ayahnya tidak merasa kehilangan uang.
Hari ini mendung sudah sejak pagi menutupi langit. Namun, hujan sepertinya tahu jika Risya tidak ingin pulang dengan seragam basah kuyup. Jadi, tepat beberapa menit setelah Risya sampai di rumah, hujan turun dengan lebatnya. Seperti biasa, jika hujan lebat, Risya tidak akan berani ke teras rumah. Ia akan terus menempel pada ibunya.
Ibu Risya pun sudah mengerti ketakutan anaknya. Ia mengajak Risya duduk di sofa ruang tengah dan saling berpelukan. Padahal sebenarnya Risya juga takut kalau sewaktu-waktu ibunya menanyakan soal uang yang hilang. Tapi, sampai hujan mereda, ibunya tidak bertanya apa-apa.
Risya memberanikan diri ke teras untuk melihat keajaiban favoritnya, pemandangan yang selalu ia suka: pelangi. Ia duduk di tepi teras sambil menopang dagunya dengan dua tangan. Matanya melihat ke atas, tempat pelangi itu biasanya muncul. Lalu, ada yang samar-samar muncul di langit, berupa garis-garis berwarna-warni. Risya membaca di buku pelajarannya, lengkungan warna-warni itu punya tujuh warna berbeda; merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu – mejikuhibiniu. Tapi, dari tempatnya duduk, mata Risya hanya menangkap warna merah, kuning, dan hijau. Dan, lama kelamaan, warna-warna itu juga menghilang, digantikan warna abu-abu dengan garis-garis putih.
Risya tiba-tiba berdiri tegak. Tak terasa, kakinya mengayun ke depan, seolah mendekati pelangi yang aneh itu. Namun, langkah Risya terhenti sampai pagar rumah. Kemudian ia berbalik dan berlari sekencang-kencangnya ke dalam rumah untuk mencari ibunya.
“Mamaaaaa!!!”
Risya berteriak sambil mencari ibunya di ruang makan. Tapi, ibunya tidak ada. Ia mencari ke kamar tidur, lalu ke kamar setrika, ibunya tetap tidak ada. Bahkan Risya memeriksa semua ruangan di rumah sambil memanggil-manggil ibunya. Tetap saja tidak ada jawaban dari ibunya.
Risya mulai takut. Ia kembali ke teras, melihat ke arah jalan di depan rumah. Tidak ada satu pun orang atau kendaraan yang melintas. Risya berjalan ke pagar, menengok ke kanan dan kiri. Jalanan lengang. Tidak nampak apa pun.
“Mencari apa, Risya?”
Sebuah suara menggema keras dari arah langit. Risya mendongak, tapi yang ia lihat hanya langit biru dan pelangi aneh.
“Siapa itu?”
“Ini aku,” jawab si suara.
“Siapa?!” Risya makin takut.
“Aku, benda kesukaanmu yang muncul setelah hujan,” kata si suara lagi.
“Muncul setelah hujan?!” gumam Risya. “Tapi…, yang muncul setelah hujan adalah….”
“Tepat sekali!”
Risya menengok ke arah pelangi aneh itu, warnanya masih abu-abu bergaris putih.
“Kamu bisa bicara?”
“Ya. Tapi, hanya kamu yang bisa mendengarku.”
“Kenapa semua warnamu menghilang?” tanya Risya.
Si Pelangi tertawa. “Aku tahu kamu akan menanyakan itu, Risya. Dan jawabannya adalah… karena kamu mencuri.”
“Mencuri? Mencuri apa?”
“Kamu mencuri warna-warnaku untuk semua lolipop yang kamu beli di kantin sekolah.”
“Lolipop?” Risya bingung. “Bagaimana bisa warna-warnamu masuk ke lolipopku?”
“Risya…, Risya…. Apa yang sudah kamu ambil dari laci meja kerja Papamu?”
Risya tersentak. Ia gemetar, lalu menggigil kedingingan karena ternyata si pelangi aneh itu seolah menyemburkan angin dingin ke tubuh Risya. Kemudian Risya menunduk, ia tahu apa yang dimaksud si pelangi aneh; ia mencuri uang.
“Ya, itu betul, Risya,” seolah si pelangi aneh bisa membaca pikiran Risya. “Kamu sudah mencuri uang Mamamu. Kamu pakai uang itu untuk membeli lolipop. Tidak cuma sekali, tapi berkali-kali. Dan sekarang, warnaku habis, Risya, tertelan bersama lolipop yang kamu makan.”
Risya menangis. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan.
“Ooh…. Jangan menangis, Risya. Aku bukan ingin menyalahkanmu. Aku hanya ingin mengingatkanmu, dan juga memberi tahu, kamu bisa mengembalikan warna-warnaku.”
Risya mendongak, menatap pelangi yang masih abu-abu warnanya. “Caranya?” tanya Risya ragu-ragu.
“Jangan lagi kamu mengambil uang dari laci meja kerja Papamu. Lagipula, makan lolipop tiap hari tidak baik untuk kesehatanmu. Gigimu akan mudah berlubang.”
Risya mengangguk beberapa kali.
“Kamu janji, Risya?” tanya si pelangi aneh.
“Iya. Aku janji,” jawab Risya.
“Baiklah. Karena kamu sudah berjanji, sekarang pejamkan matamu, lalu hitung sampai sepuluh. Jangan membuka mata jika hitungannya belum selesai sampai sepuluh.”
Dan, Risya pun mulai berhitung.
***
Risya membuka mata, mengerjap pelan-pelan sambil mencari tahu di mana ia berada; ia sedang di kamarnya sendiri. Ia melihat tubuhnya, masih memakai seragam sekolah. Ia melihat ke arah jendela, masih terdengar sisa rintik hujan. Langit sudah tidak lagi mendung, warnanya biru muda nan cerah. Lalu, ia mulai mengingat-ingat lagi apa yang sedang ia lakukan. Ya, Risya mulai ingat. Ia duduk di hadapan meja balajarnya, sambil melihat hujan dari jendela kamar. Lalu, ia tertidur.
Tiba-tiba, Risya bangkit dari kursi, berlari keluar dari kamar dan langsung menuju teras. Suara ibunya tidak ia pedulikan sebab Risya teringat sesuatu yang biasa muncul setelah hujan: pelangi.
Sampai di teras, mata Risya langsung menangkap deretan warna-warni di langit sebelah timur. Ia tersenyum. Rupanya, janji yang ia buat dengan si pelangi abu-abu dalam mimpi tadi benar-benar bisa mengembalikan warna-warni yang hilang.
“Risya,” panggil ibunya dari teras. “Kenapa kamu nggak denger Mama panggil dari tadi? Malah lari ke halaman.”
“Liat pelangi, Ma,” sahut Risya.
Ibu Risya tersenyum. Ia menghampiri Risya sambil memegang sesuatu di tangannya.
“Ini hadiah dari Mama untuk kamu, Sayang,” katanya, lalu menyodorkan benda warna-warni kepada Risya.
“Lolipop!” pekik Risya tak percaya. Risya pun memeluk ibunya. “Maafin Risya ya, Ma.”
“Lho, minta maaf buat apa?”
Lalu, Risya ingat. Yang tadi itu hanya mimpi. Ia sama sekali tidak mencuri uang dari laci meja ayahnya.
“Nggak apa-apa, Ma. Makasih lolipopnya ya.”
“Sama-sama, Sayang.”
“Oya, Ma. Risya nggak jadi minta tambahan uang jajan. Sepuluh ribu juga udah cukup.”
Ibu Risya kembali tersenyum.
@maura_basuki
Sumber gambar: http://www.myfreewallpapers.net/nature/pages/double-rainbow.shtml
Untuk melihat karya lain, silakan menuju link ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H