Baru-baru ini, pada awal Februari 2022, Pemerintah melalui Menteri Tenaga Kerja, Ida Fauziyah, menerbitkan sebuah peraturan yang sangat merugikan pekerja di sektor swasta. Bagaimana tidak, tanpa "ujang-angin" ujug-ujug terbit beleid yang dimaklumatkan dalam Permenaker No. 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Jaminan Hari Tua. Beleid ini sekaligus mencabut Permenaker No. 19 Tahun 2015 yang mengatur hal serupa. Lalu, apa yang berbeda di sana dan mengapa dianggap merugikan pekerja?
Telah ramai dalam pemberitaan bahwa yang dipersoalkan khalayak ialah masa tunggu pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) yang sebelumnya diatur 1 (satu) bulan setelah PHK menjadi berusia 56 tahun. Kebijakan ini akan mulai diterapkan tiga bulan setelah diundangkan atau tepatnya tanggal 2 Mei 2022
Pada dasarnya, JHT merupakan jaring pengaman bagi pekerja. Jaminan sosial ini dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan. Sumber dana JHT ini berasal dari iuran wajib nasabah (pekerja) yang disetor setiap bulannya. Khusus untuk JHT adalah sebesar 5,7% dari upah pokok dan tunjangan tetap pekerja. Dari komposisi itu, 3,7% ditanggung oleh pemberi kerja, sisanya 2% oleh pekerja.
Selain iuran JHT, ada juga potongan iuran lainnya yang disebut Jaminan Pensiun (JP). Iuran yang disetor ke kas BPJS adalah 3% dari besaran upah pokok dan tunjangan tetap pekerja.
Antara JHT dan JP adalah sama tujuannya, yakni menjaga kualitas hidup pesertanya paska memasuki usia pensiun. Bedanya, JHT dapat dicairkan secara lumpsum, sementara JP diberikan secara bertahap setiap bulannya setelah memasuki usia pensiun. Tentu saja dengan syarat bekerja selama minimal 15 tahun terus-menerus di suatu badan usaha.
Selain daripada dua jenis iuran di atas, masih ada pula iuran wajib dengan nama Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) juga Jaminan Kematian (JKM) yang disetor ke BPJS. Keduanya ini mengalami rekomposisi persentasi pemotongan setelah diterbitkannya PP No 37 tahun 2021 sebagai peraturan pelaksana UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Rekomposisi ini merupakan subsidi silang dengan adanya tambahan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). JKP hanya diberikan selama 6 (enam) bulan paska PHK.
Sebelum saya jelaskan lebih lanjut, saya ingin mengutip terlebih dahulu pernyataan Menaker, Ida Fauziyah, yang dikutip media mainstream pada saat menanggapi ramainya pemberitaan atas kebijakan yang ia keluarkan. Menurutnya, tujuan peraturan JHT ini adalah untuk menjamin adanya uang tunai di hari tua, maka klaim JHT seharusnya tidak dilakukan pada masa hari tua tersebut belum tiba.
"Karena tujuan JHT tersebut adalah untuk menjamin adanya uang tunai di hari tua, maka klaim JHT seharusnya tidak dilakukan pada masa hari tua tersebut belum tiba," begitulah pernyataan Menaker.
Menaker tidak menjelaskan secara terbuka permasalahan pengelolaan iuran JHT. Memang demikian karena bukanlah kewenangannya. Namun patut diduga ada masukan dari jajaran direksi BPJS terkait problematika ini. Ada kemungkinan terjadi minus di tengah gelombang PHK akibat pandemi Covid-19. Pasalnya, suasana jaminan sosial ketenagakerjaan yang adem tiba-tiba muncul beleid yang memancing reaksi publik untuk menggelorakan parlemen jalanan. Dapat dibayangkan berapa banyak sektor usaha yang akan ikut terganggu lagi di tengah iklim usaha manufaktur yang belum kondusif akibat Covid-19.
Kembali ke penjelasan pemerintah. Pada kesempatan yang sama juga Menaker menjelaskan bahwa dengan syarat kepesertaan 10 tahun JHT dapat dicairkan 30% untuk kebutuhan perumahan dan atau 10% untuk urusan lainnya. Penjelasan ini di luar dari Permenaker No 2/2022. Selain itu, eksplanasi yang disampaikan kontradiktif dengan argumentasi sebelumnya bahwa JHT hanya untuk hari tua. Dapat dipahami Menaker sadar bahwa jika terjadi PHK secara tidak terencana, maka seorang pekerja tentu butuh modal yang besar untuk memperbaiki derajat kebertahanan hidup.
Mungkin ada opini lain bahwa paska PHK, pekerja masih terbantu dengan (a) pesangon, (b) uang masa kerja, dan (c) JKP, atau juga (d) kanal pinjaman lain. Sebagai opini sah-sah saja, namun perlu pemikiran yang holistik untuk memaknai problematika industrial. UU Cipta Kerja telah mengurangi maksimal pesangon yang harus diterima. Selain itu, Pesangon, juga uang masa kerja, tidak diperuntukan bagi semua pekerja. Tentu saja yang berhak atas itu semua adalah mereka yang menjalani hubungan kerja dengan Perjanjian Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), atau pekerja tetap. Persoalan lain misalnya PHK harus melalui litigasi, jalur pengadilan, maka sebagian sumber daya akan dipakai untuk menjalani proses penyelesaiannya.