Lihat ke Halaman Asli

Fredy Maunareng

Pemerhati Bahasa

Mogok Kerja; Prinsip Dasar dan Konsekuensi Hukum

Diperbarui: 28 Desember 2021   02:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. Gambar milik CNBC Indonesia.

Pengantar

Beberapa hari lalu, timeline facebook saya dipenuhi dengan berita Federasi Serikat Pekerja Pertamina ancam mogok kerja. Di situ sudah ada ribuan komentar dan tanggapan. Ketika membuka kolom komentar, lebih banyak yang kontra kepada buruh  daripada yang pro. 

Komentar netizen yang kontra bermacam-ragam. Ada yang mengatakan bahwa karyawan pertamina tidak bersyukur. Ada pula yang menyarankan pecat atau ganti saja karyawan yang ikut mogok. Dengan nada sejenis ada juga yang menyatakan bahwa masih banyak pengangguran yang butuh kerja. 

Karena begitu banyak yang ikut berkomentar -- menurut saya walau mereka tidak paham dengan hak pekerja/buruh -- saya terpaksa ikut juga berkomentar pada salah satu laman yang saya baca. Saya mengkategorisasikan komentator/netizen yang kontra dengan sikap buruh pertamina menjadi empat, yakni (1) komentar netizen yang mewakili pihak profesional yang punya pengalaman manajerial suatu badan usaha, (2) komentar dari loyalis pendukung pemerintah (beranggapan pemerintah maha benar sehingga yang kontra dianggap salah), (3) komentar netizen yang mewakili pekerja yang apatis (tahunya hanya kerja tanpa tahu hak-hak dasar sebagai pekerja), dan (4) komentar netizen pencari kerja (belum punya pengalaman kerja atau belum pernah berserikat). Kategorisasi ini hanyalah bertujuan untuk mendikotomikan pekerja/buruh yang paham terhadap haknya versus pandangan masyarakat yang gagal paham terhadap hak pekerja/buruh. Mereka mungkin tidak paham sejarah panjang munculnya klausul mogok kerja ke dalam regulasi nasional. 

Pada kesempatan ini, saya ingin menguraikan sedikit perihal substansial mengenai mogok kerja. Di sini saya menghindar dari pertimbangan filosofis, sosiologis dan historis mogok kerja buruh untuk langsung masuk pada ketentuan regulasi nasional. Setidaknya lebih memperpendek uraian tanpa menghilangkan substansi. Saya juga tidak ingin masuk pada perihal boleh tidaknya Federasi Serikat Pekerja Pertamina melakukan mogok kerja karena ranah ini merupakan ranah internal yang pada pokoknya mengharuskan kita untuk mengetahui dengan benar duduk perkaranya sebelum berkomentar memperlihatkan sudut pandang "kebencian" kita. 

Pengertian

Dalam dunia kerja, ada yang disebut dengan majikan dan buruh (konsep masa penjajahan) atau pengusaha dan pekerja (konsep masa kemerdekaan). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Majikan adalah orang atau organisasi yang menyediakan pekerjaan untuk orang lain berdasarkan ikatan perjanjian. Definisi pengusaha menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) adalah (a) orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; (b) orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; (c) orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. Dari definisi ini, dapat diketahui bahwa Majikan atau Pengusaha adalah pihak yang memberi atau yang mengelola pekerjaan yang diberikan kepada orang lain. Jadi, pemilik usaha atau pengelola usaha dapat disebut sebagai pengusaha dalam hubungan industrial. 

Di samping itu,  menurut UUK, Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal 1 angka 3, UUK). Jadi, setiap orang yang dipekerjakan atau penerima upah adalah buruh, apapun jabatannya. Sekali lagi, selama Anda adalah penerima upah berdasarkan suatu ikatan kerja dengan pemberi kerja maka Anda adalah buruh. Dari definisi ini muncullah irisan tak terbatas antara pengusaha dan pekerja yang terkadang membuka ruang konflik kepentingan (conflict of interest). 

Dalam praktik industrial, pekerja yang dipercayakan mengelola usaha pengusaha dapat disebut sebagai pengusaha sepanjang dimaknai sebagai perwakilan dalam mengambil keputusan. Walaupun pada hakikatnya juga adalah buruh. Pada irisan ini membuka ruang konflik kepentingan untuk mengikuti tuntutan pekerja/buruh atau harus tetap mengikuti kemauan pengusaha walaupun sadar bahwa yang diperjuangkan pekerja/buruh benar adanya. 

Baiklah, langsung saja pada mogok kerja. Dalam UUK, yang dimaksud dengan mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan (Pasal 1 Angka 23, UUK).  Eksplisit disebutkan bahwa yang melakukan mogok kerja adalah pekerja/buruh, bukan pengusaha juga bukan mahasiswa, apalagi netizen. Karena itu, mogok kerja adalah tindakan yang dilakukan oleh pekerja/buruh secara sadar dan terencana. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline