Hampir di seluruh pelosok tanah air kita, rakyat menanti deklarasi calon wakil presiden yang akan mendampingi calon presiden pada periode 2019---2024. Isu siapa calon presiden meredup dalam konsumsi masa.
Tanding ulang (rematch) bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi. Demikian petahana akan tetap hadir untuk melanjutkan rencana jangka panjangnya, dan tagar "2019 Ganti Presiden" telah mengerucut kepada salah satu pemimpin partai, sebut saja Prabowo Subianto; walaupun tidak ada korelasi positif antara tagar dimaksud dan capres yang diusung. Publik kemudian menanti siapa sosok yang akan mendampingi mereka.
Petahana dalam lingkaran PDIP dan partai pengusung lainnya rupanya memainkan strategi injury time. Mereka tidak ingin terburu-buru mendeklarasikan pasangan lebih awal agar lawan tidak membaca kelemahan.
Strategi ini memang kadang baik, tetapi kadang pula melahirkan kontroversi antara pendukung figur dan simpatisan partai. Berkaca dari penetapan dukungan PDIP kepada Basuki Tjahja Purnama atau yang akrab disapa Ahok pada Pilkada DKI kemarin, strategi ini dimainkan. Banyak pendukung Ahok yang memilih jalur independen ketimbang terperangkap dalam strategi politik PDIP.
Kala itu, PDIP seperti tidak pasti mengusung Ahok sehingga PDIP tampak seperti partai pendukung Ahok dan bukan pengusung. Melalui BBC diberitakan bahwa relawan Ahok telah mengantongi 1.024.632 KTP, dengan kata lain sudah melampaui target tetapan KPU melalui jalur perseorangan.
Hasil penggalangan KTP itu meskipun tidak digunakan tetapi turut menggambarkan tentang rakyat di Jakarta sebagai miniatur Indonesia itu tidak perlu retorika partai, tetapi lebih kepada figur yang dianggap mampu bekerja mengadministrasi keadilan sosial bagi masyarakat DKI, walau pada akhirnya kursi pemerintahan harus diserahkan kepada patner rivalnya di putaran kedua.
Dalam konteks Pilpres 2019, capres petahana dan non incumbent atau oposisi sama-sama mendeklarasikan cawapres mereka selang beberapa hari mendekati penutupan pendaftaran capres-cawapres ke KPU.
Petahana keluar dengan menggandeng KH. Ma'ruf Amin, sementara keesokan harinya Prabowo keluar dengan menggandeng Sandiaga Salahuddin Uno. Kedua cawapres dari masing-masing kandidat adalah sungguh nama-nama yang tidak begitu kuat dalam bursa cawapres 2019. Paling tidak, dalam opini media tidak begitu gembar-gembor nama-nama kontestan ini disebutkan.
Walau demikian, tentu masing-masing cawapres ini sudah melalui penyaringan ketat dengan berbagai pertimbangan, termasuk strategi penangkalan isu sara; dan karena itulah saya menggunakan kata kunci jebakan batman dalam tulisan ini.
Terminologi jebakan batman merupakan istilah yang cukup familiar dalam dunia browsing. Ada semacam permintaan atau rangsangan untuk mengikuti link tertentu dan ketika link itu diikuti akan berkahir dengan sesuatu yang tidak diharapkan, misalnya terjadi tambahan multi tab secara otomatis, penyebaran malware trojan, dan yang sejenisnya. Dalam konteks deklarasi cawapres 2019, siapakah yang masuk dalam jebakan batman dari strategi injury time? Apakah petahana atau oposisi? Siapapun yang terperangkap jebakan batman tidaklah penting dibahas sepanjang ia bisa meloloskan diri; yang penting ialah bagian mana jebakan itu dibuat, dan bagaimana jebakan itu dipasang untuk kembali menangkap batman, sehingga penonton tidak ikut terjebak dalam jebakan batman dan memicu perselisihan.
Hemat saya, banyak tahapan menyiratkan jebakan batman, dan dalam tulisan ini saya akan mengulas salah satunya yang saya pandang perlu. Hal ini penting dikemukakan dengan tujuan merajut keutuhan dalam berbangsa.