Hari buruh secara internasional diperingati setiap tanggal 1 Mei. Peringatan hari buruh pun selalu diwarnai dengan demonstrasi (unjuk rasa). Umumnya, tema utama yang dibawakan dalam demonstrasi ialah menuntut adanya kenaikan upah atau menolak upah murah.
Baru-baru ini, isu sentral yang dibawakan dalam demonstrasi memperingati Hari Buruh adalah Tenaga Kerja Asing (TKA) dan penerbitan Perpres No. 20 tahun 2018 tentang Tenaga Kerja Asing. Sorotan tajam datang dari Said Iqbal, Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Said menduga upaya pemerintah meneken perpres ini untuk mengakomodasi investasi China dalam pembiayaan proyek-proyek pembangunan infrastruktur (baca di sini).
Dengan semangat penolakan terhadap Perpres TKA, lewat momentum Hari Buruh, para buruh telah mendeklarasikan dukungan kepada salah satu pimpinan partai yang akan mencalonkan diri sebagai Capres pada pemilu 2019 mendatang. Ya, dukungan mereka tidak lain ialah kepada Prabowo Subianto. Di sinilah sinyal dugaan peringatan hari buruh yang mulai terkontaminasi dengan politik elektoral jangka pendek.
Dalam tulisan ini akan saya kemas 4 hal yang berhubungan dengan peringatan Hari Buruh pada 1 Mei kemarin. Keempatnya akan saya uraikan secara singkat pada sub-sub judul berikut.
Tenaga Kerja Asing
Tenaga Kerja Asing dalam konteks undang-undang ketenagakerjaan adalah mereka yang berasal dari luar Indonesia (warga negara asing) yang memegang visa dengan maksud bekerja di Indonesia. Mereka diperlukan oleh pengusaha baik domestik maupun asing di Indonesia sesuai dengan kebutuhan yang tertuang dalam Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA). Tentu yang dibutuhkan adalah mereka yang memiliki experience dan ekspektasi yang tinggi dalam bidang masing-masing.
Namun, belakangan terdengar bahwa banyak TKA 'menyerbu' Indonesia dan menempati semua jabatan, termasuk menjadi supir. Tentu saja informasi itu meresahkan masyarakat pencari kerja di Indonesia. Ombudsman RI beberapa hari lalu merilis temuan mereka; tidak tangung-tangung, Ombudsman membeberkan diferensiasi besaran gaji TKA dan pekerja lokal pada posisi driver. Nominal yang disebutkan adalah Rp. 15 juta untuk pendapatan seorang supir TKA.
Terkait dengan temuan itu, apakah memang benar adanya atau hanya berita bohong (hoax) tentu harus diverifikasi. Namun kehadiran TKA yang bekerja sebagai supir sekalipun bukanlah sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Semua pihak perlu memahami bagaimana masuknya TKA ke Indonesia, ibarat TKI yang juga kita kirim ke luar; tetapi ketika kita membandingkan TKI dan TKA adalah hal yang berbeda sesuai kebutuhan nasional suatu negara pemberi kerja.
Di samping temuan Ombudsman, pemerintah tidak memiliki data adanya TKA sesuai temuan dimaksud. Kita boleh menduga-duga, tetapi kita pun jangan lupa bagaimana TKI kita kembali dalam bentuk mayat. Secara tidak langsung, kehadiran TKA di Indonesia yang berbeda dengan data pemerintah bisa jadi karena adanya korban (1) perdagangan manusia, (2) kesengajaan pemberi kerja mempekerjakan secara illegal, atau memang (3) kesengajaan pemerintah Indonesia mempekerjakan buruh migran.
Seorang akademisi Korea Selatan, Jung Park pernah menuliskan bahwa buruh migran Tiongkok yang bekerja dan dipertahankan di Afrika ialah karena bersedia bekerja dengan jam kerja panjang, mampu mencapai target yang diharapkan, dan patuh terhadap perintah dan permintaan pemberi kerja. Dan hal itu sering tidak mampu terkejar oleh pekerja lokal di Afrika.
Membandingkan hasil penelitian Jung Park dengan temuan Ombudsman mengenai TKA dari Tiongkok, dan menghubungkan dengan ketiga kemungkinan di atas maka bagi saya yang cenderung terjadi adalah kesengajaan pemberi kerja mempekerjakan secara illegal. Demikian bagi saya, pemerintah tidak mungkin mempekerjakan (baca: memberi izin) TKA pada level pekerjaan yang dapat dilakukan oleh masyarakat Indonesia secara umum, sepanjang itu tidak diatur dalam ketentuan ketenagakerjaan kita. Oleh karena itu, kedapatan pelanggaran terhadap Pasal 42 UUK, perlu ditindak sesuai rumusan delik UUK dan juga UUImigrasi.