Lihat ke Halaman Asli

Fredy Maunareng

Pemerhati Bahasa

Kenali Afasia Sejak Dini

Diperbarui: 13 November 2017   16:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi gambar diambil dari https://dustygerbera.wordpress.com/tag/neuro/

"Harta terbesar manusia ialah memiliki bahasa, dan kebahagiaan terbesarnya ialah mampu berbahasa"

(Fredy Maunareng)

Pengantar

Rene Descartes, seorang filsuf dan ahli matematika ternama asal Perancis mengungkapkan pernyataannya yang menjadi populer hingga saat ini; Cogito ergo sum yang artinya 'Aku berpikir maka aku ada'. Kalimat ini sempat mengguncang Eropa pada abad ke-17 dan 18 yang mempengaruhi filsafat modern. Descartes ingin mencarikan kebenaran dengan cara meragukan semua hal, termasuk dirinya. Ini merupakan cara berpikir kaum rasionalisme untuk mempertentangkan segala hal agar dapat lebih diterima menjadi kebenaran rasional.

Buah pemikiran Descartes yang dituangkan dalam buku "Diskursus dan Metode" menjadi babon dalam masa kejayaannya bahkan hingga saat ini. Demikian kekuatan dan sumber pengetahuan adalah berasal dari pola-pola dan cara berpikir dialektik. Namun, apalah daya jika otak manusia sebagai sarana berpikir menjadi tidak maksimal menjalankan fungsinya; maka 'berpikir' hanyalah sebuah isapan jempol. Salah satu faktor penyebab manusia tidak dapat berpikir ialah adanya gangguan berbahasa yang terjadi pada otak manusia. Gangguan ini disebut Afasia. Akibat gangguan ini, terkadang penderita mengalami depresi, bahkan cenderung terisolasi.

Mengenal Afasia

Afasia (Ing: aphasia; Yun: aphatos) artinya tidak bisa berkata-kata. Pengertian yang lebih luas dalam disiplin linguistik (ilmu bahasa), afasia mengandung arti "Gangguan berbahasa karena kerusakan pada otak". Berbahasa tidak hanya berkata-kata, tetapi mencakup pula menyimak, membaca, menulis dan berpikir. Di sini bahasa menjadi instrumen penting mengenali afasia. Tanpa bahasa, manusia tidak dapat berpikir; tanpa bahasa manusia tidak dapat bermimpi; tanpa bahasa manusia tidak dapat melukiskan dunianya. Singkatnya, tanpa bahasa, tidak banyak yang dapat dilakukan manusia.

Berdasarkan temuan para pakar neurolinguistik (ilmu bahasa dan otak), afasia dibedakan menjadi (a) afasia ekspresif, dan (b) afasia reseptif.

Afasia ekspresif

Afasia ekspresif atau afasia motorik dapat disebut juga sebagai nonfluent aphasia/ Broca aphasia. Adalah Paul Broca, seorang dokter bedah dari Perancis pada tahun 1860-an melaporkan bahwa kerusakan pada lobus frontalis kiri atau area hermisfer kiri otak manusia berdampak pada sulitnya menghasilkan bahasa lisan. Lebih jauh, penderita jenis afasia ekspresif akan sulit memproduksi bahasa, baik dalam hal berbicara menulis maupun berhitung, termasuk pula dalam hal menentukan arah (kiri/kanan) dan perbedaan warna. Penderita jenis afasia ini hanya bisa memahami tetapi akan sulit menyampaikan apa yang dipikirkan.

Afasia reseptif

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline