Lihat ke Halaman Asli

Fredy Maunareng

Pemerhati Bahasa

Gambaran Kehidupan Masyarakat Wetar "Tempo Doeloe" melalui Tradisi Cagulu-cagulu

Diperbarui: 31 Oktober 2017   11:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://trihatmadja-journal.com/2016/02/01/moning-desa-selamat-pagi-di-pulau-wetar/

Latar belakang dan kemajuan suatu suku bangsa tidak hanya dapat ditelusuri melalui sejarah. Penelusuran pun dapat dilakukan melalui media komunikasi yang digunakan, yakni bahasa. Bahasa menggambarkan pola pikir dan pola laku manusia sehingga menjadi pandangan hidup masyarakat pemakainya. Ini merupakan hipotesis Sapir-Whorf yang begitu kuat di pertengahan abad ke-20. Walaupun para pengeritik hipotesis ini bisa menyanggah dengan berbagai argumentasi ilmiah, tetap kembali lagi bahwa ada relativitas antara bahasa dan lingkungan serta interaksi antar pemakai-bahasa-lingkungan. Gambaran kehidupan apa yang dapat ditelusuri dari bahasa tidak lain ialah simbol dan referent (acuan).

Masyarakat Wetar pada umumnya mengenal permainan tebak-tebakan yang digambarkan dengan pertanyaan-pertanyaan bersayap. Dalam bahasa Melayu setempat disebut cagulu-cagulu. Di Manado disebut cigulu-cigulu. Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan teka-teki. Beberapa literatur menyebut teka-teki ini dengan istilah pertanyaan tradisional. Karena ada kata tradisionalnya, maka teka-teki ini termasuk sebagai cerita rakyat/folklor. Folklor adalah pengetahuan kolektif suatu kelompok masyarakat budaya yang diturunkan secara turun-temurun.

Lalu, apa itu teka-teki? Teka-teki ialah pertanyaan metaforis yang memiliki satu atau lebih unsur pelukis yang mengundang jawaban yang harus ditebak/terka. Unsur jawaban memiliki ciri seperti unsur pelukis.

Konon di Wetar, permainan cagulu-cagulu ini biasanya dilakukan pada saat acara-acara peminangan. Tidak sembarang waktu dan tempat cagulu-cagulu ini diujarkan. Pada waktu panen raya atau di malam hari, jika ada dua atau lebih orang melakukan tanya jawab dengan cagulu-cagulu dipercaya bahwa akan ada hama yang masuk ke lumbung makanan dan merusak hasil panen mereka.

Anak Wetar zaman now umumnya sudah tidak mengenal lagi cagulu-cagulu di daerah mereka. Mungkin karena unsur tabu itu pula yang membuat kreativitas menciptakan pertanyaan bersayap itu mulai punah. Padahal jika ditelusuri, cagulu-cagulu yang pernah ada itu pun menggunakan bahasa Melayu setempat. Kendati demikian, karena ada relativitas antara bahasa dan penutur serta lingkungan, maka kita bisa mengenal gambaran kehidupan masyarakat Wetar tempo doloe yang menciptakan cagulu-cagulu. Struktur cagulu-cagulu akan dimulai dengan pertanyaan yang metaforis kemudian diakhiri dengan pertanyaan "apakah itu?". Misalnya, kecil-kecil pakai baju, besar-besar buka baju. Apakah itu? Pertanyaan dilemparkan kepada pendengar yang nantinya bertindak sebagai penjawab.

Dari sejumlah cagulu-cagulu yang dapat diinventarisasi, selanjutnya dapat ditemukan kehidupan masa lalu dari suatu kelompok masyarakat bahasa, yang dalam tulisan ini ialah masyarakat Wetar.

Masyarakat Wetar adalah masyarakat yang hidup dengan berkebun

Pembuat cagulu-cagulu sangat paham dengan apa yang dihadapi sehari-hari. Jika ia sebagai pekebun maka cagulu-cagulunya juga akan menggambarkan tentang kebun dan hutan. Misalnya,

Kecil pake baju ijo deng topi (Kecil berbaju hijau menggunakan topi)
Besar lepas topi pake baju mera (Besar berbaju merah tanpa topi)
Jawabannya "cabe".

Kecil-kecil pake baju (Masih kecil berbaju)
Besar-besar buka baju (Sudah besar lepas baju)
Jawabannya "bamboo/rebong".

Pake baju balapis-lapis (Pakai baju berlapis-lapis)
Satu bantal banya kepala (Satu bantal dipakai bersama)
Jawabannya "buah jagung".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline