Lihat ke Halaman Asli

Balsem Pereda Jerit Kemiskinan Sementara

Diperbarui: 24 Juni 2015   11:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menanggapi permasalahan klasik mengenai kisruh pembagian Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) seperti yang terjadi pada kebijakan serupa sebelumnya (BLT). Semakin menambah daftar betapa kebijakan di negeri ini sangat praktis tidak menjawab permasalahan mendasar dan selalu bersifat sementara. Lihat saja, sejak krisis orde baru tidak pernah ada kebijakan pemerintah yang memberikan dampak signifikan untuk mengatasi kemiskinan. Semua kebijakan hanya bersifat semboyan melawan kemiskinan. Benar, melawan masyarakat miskin agar tidak menjadi kaya.

Jika BLSM ini memiliki tujuan utama agar rakyat miskin tidak semakin miskin, ini justru sesuatu yang patut ditertawakan kerealistisannya, pasalnya jelas sekali kebijakan ini bersifat sementara tidak bersifat jangka panjang dan tidak memberi solusi yang mendasar. Namun, pemerintah cukup pintar untuk mengemas komunikasi politiknya dengan mengatakan bahwa ini membantu masyarakat agar tidak syok atas akibat kenaikan harga BBM.

BBM memang memiliki efek yang dengan mudah mempengaruhi setiap sector ekonomi di Indonesia. Karena BBM merupakan sumber energy yang paling banyak digunakan masyarakat Indonesia untuk menggerakkan roda ekonominya. Sehingga tidak perlu kaget jika efek kenaikannya menyebabkan kenaikan semua harga kebutuhan pokok di Indonesia.

Namun efek kenaikan harga bahan pokok tersebut tidak bersifat sementara, melainkan permanen sejauh pemerintah tidak becus mengatur harga pasar yang tidak terkontrol pasca kenaikan BBM tersebut. Dan sangat didayangkan, efek kenaikan BBM yang berimbas pada kenaikan bahan pokok hanya disembuhkan dengan obat penenang yang bersifat sementara. Karena tidak ada dalam sejarah kenaikan harga BBM menyebabkan inflasi sementara. Perkiraan inflasi sebesar 7,2 % itu tentu tidak akan dapat dengan mudah kembali normal, bahkan bisa dibilang mustahil untuk kembali normal jika harga BBM bertahan pada angka Rp 6500.

kita lihat saja pemberitaan media massa beberapa hari lalu sebelum isu kisruh pembagian BLSM yang tidak tepat sasaran mencuat. Isu kenaikan harga kebutuhan pokok tersebut menjelaskan bahwa hampir semua harga bahan kebutuhan pokok melonjak. Harga beras, harga, bawang, harga daging, semuanya melonjak naik.

Penghasilan masyarakat yang tidak mengalami kenaikan justru akan menyebabkan masyarakat miskin semakin menjerit kesakitan menghadapi harga bahan pokok yang meroket. Harga bahan pokok saat BBM masih Rp 4500 sudah susah untuk didapatkan dengan penghasilan pas-pasan, sekarang dipaksa untuk bertahan hidup dibawah tekanan harga BBM yang semakin mahal. Tentu seharusnya ini semakin menambah jumlah masyarakat miskin. Justru kebalikannya setiap kali diadakan sensus, hasilnya selalu menunjukkan bahwa angka kemiskinan semakin menurun. Padahal menurut penelitian pada tahun 2011 semua itu hanya akal-akalan pemerintah menujukkan prestasi menurunkan angka kemiskinan dengan menurunkan standar masyarakat ikatakan miskin dari Rp 19000 ($ 2) menjadi Rp. 7200. Sekarang patut dipertanyakan ulang mengenai sensus angka kemiskinan yang diklaim sebagai prestasi tersebut, padahal kenyataan kisruh BLSM saat ini dikarenakan salah sasaran, ibas dari sistem pendataan yang kacau. Jangan berbicara mengentaskan kemiskinan jika tidak bisa membedakan mana masyarakat miskin dan mana masyarakat kaya.

Sehingga benar saja jika BLSM dikatakan sebagai obat penenang yang hanya mampu meredakan sakit sementara, setelah obatnya habis akan tetap sakit dan justru memberikan efek ketagihan dengan obat penenang tersebut. Pasalnya masyarakat miskin akan terbuai dengan BLSM dalam jangka waktu 4 bulan tersebut. Setelahnya tetap merasakan sakit berkelanjutan bahkan semakin parah. Selanjutnya secara terus menerus masyarakat akan menuntut bantuan pemerintah, karena sudah tidak memiliki daya ntuk berusaha karena pendidikan pemerintah yang justru melemahkan mentalnya.

Mengenai statistic penggunaan BBM bersubsidi yang menyatakan sekitar 51 % penggunaan BBM bersubsidi digunakan untuk kendaraan pribadi itu merupakan diplomasi asal-asalan ala pemerintah setengah hati. Sebenarnya karena pemerintah tidak tegas membuat kebijakan tentang moda transportasi, pembatasan kendaraan pribadi, pemanfaatan energi alternative atau bahkan menaikkan pajak kendaraan pribadi untuk menekan pertumbuhan kendaraan pribadi, tentunya dengan diimbangi peningkatan kualitas trasportasi masal. Setidaknya orang-orang kaya itu menjadi sadar diri tentang kepedulian social, kepedulian lingkungan, mengubah gaya hidup konsumtif mereka, penggunaan trasportasi masal juga membuang sekat-sekat kelas social.

Justru tidak logis jika alasan kenaikan BBM bersubsidi dikarenakan BBM bersubsidi mayoritas penggunaannya tidak tepat sasaran. BBM yang merupakan energi dasar untuk menggerakkan roda ekonomi Indonesia yang tidak pernah diurus mengenai alternative pemecahan terdengar aneh jika itu tidak tepat sasaran. Pasalnya setiap kegiatan ekonomi masyarakat Indonesia menggunakan BBM, petani, nelayan, pedagang. Energy penggerak sector ekonomi rakyat kecil juga memerlukan BBM. Lihat saja efek kenaikan harganya saat ini justru yang merasakan kesulitan adalah rakyat miskin.

Mungkin alasan rasionalnya adalah Defisit APBN 2013 semakin besar, sebanyak Rp 153 T, jauh melebihi pagu defisit APBN di tahun anggaran 2012 yang kala itu mencapai Rp 146 T. Jika dibiarkan terlalu lama, bisa semakin membebani APBN. Defisit yang selalu membesar dari tahun ke tahunnya harus ditekan agar tidak membebani hutang negara yang sudah mencapai Rp 2.023 T di tahun 2013, masih panjang lagi hitung-hitunganya

Sayangnya , kami tidak tahu bahasa ekonomi tingkat Dewa yang mereka suarakan itu. Yang kami tahu kami membayar pajak dari hasil memeras keringat dengan bekerja sebagai budak di negeri kami sendiri untuk menjamin kehidupan mereka agar mereka bias bekerja tanpa meneteskan keringat untuk menjamin kehidupan kami. Tapi sepertinya mereka pura-pura lupa dengan semua itu. Seperti drama yang selalu terjadi saat tersangkan korupsi diadili.

Oleh karena itu, tidak ada dalam kamus pembangunan masyarakat, bantuan besifat sementara dapat mengentaskan kemiskinan yang sudah mengakar dan tanpa solusi jangka panjang tersebut. Apalagi dilakukan dengan setengah hati, tanpa profesionalisme dan kesadaran membangun negeri yang ditunjukkan oleh semua jajaran pemerintahan termasuk birokrasinya. Pikirkan apa masalah mendasar di Negeri ini, kemudian selesaikan. Kalian kami bayar untuk memikirkan itu, bukan bekerja dengan pencitraan seperti remaja labil yang tidak mau disalahkan !!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline