Lihat ke Halaman Asli

Salah Arahnya (Etika) Politik Kiai

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siapa pun yang memasuki dunia politik-sesaleh apapun-bersiaplah untuk korup. Saya tidak bermaksud meremehkan track record moral para kiai, tetapi tidak ada jaminan sedikit pun kuasa moral mereka bakal mengalahkan kuasa (a)moral realitas politik kita. Inilah mission impossible para kiai menghadapi korup dan dekilnya realitas politik kita. (Masdar Hilmy).

-----------------------------------------------

Impian sebagai warga Sumenep yang mengharapkan adanya perubahan yang mengarah pada perbaikan di segala sektor demi kesejahteraan masyarakat akan kembali dipertaruhkan pada tahun 2015 ini.

Sesuai dengan skedul yang telah ditetapkan oleh KPU Pusat, Kabupaten Sumenep mejadi salah satu (dari 19 Kabupaten/Kota) di Jawa Timur yang akan menyelengarakan PILKADA Serentak Tahap Pertama. Seperti yang sudah lazim, jauh-jauh hari sudah bermunculan beberapa figur dan pasangan sebagai calon Bupati dan wakilnya, hal ini sama sekali tidak mengherankan mengingat sudah selayaknya bagi setiap warga yang punya niatan untuk mencalonkan diri pada ajang PILKADA 2015 ini harus banyak dan lebih rajin memperkenalkan diri kepada masyarakat.

Sebetulnya, Tidak hanya pada periode kali ini, Dalam beberapa ajang PILKADA di Indonesia wabil khusus Sumenep dengan keterlibatan para kiai sebagai aktor utama sudah menjadi hal yang lumrah dan biasa dilaksanakan, karena itu, disanalah saya melihat terdapat pertaruhan besar serta kekhawtiran yang mendasar ketika kiai memilih maju sebagai calon dalam perayaan lima tahunan tersebut, pertaruhan tersebut menyangkut sejauh mana-meminjam istilah Franz Magnis-Soseno- “Kuasa Moral” kiai mampu mengimbangi dan mengatasi kuasa moral korup para elit birokrat hari ini.

Dalam kemasan yang berbeda, kapasitas kiai lebih dikonotasikan pada orang yang punya tanggung jawab untuk mendidik (etika, agama) kepada masyarakat, bukan politik praktis yang dari awal memang dianggap anarkonistik.

Sudah banyak kalangan yang menganggap tidak baik ketika kiai mulai tergoda oleh pesonanya politik praktis (kekuasaan). karena dalam prosesnya kiai memang sering kali menabrak etika (perkiaian) bahkan juga overleaving dalam meraih tujuannya dalam dunia politik.

Terjadinya ritualisasi, mistifikasi, dan mitologisasi politik para kandidat (kiai) dalam menjalankan misinya untuk meraup dukungan dan kemenangan dirinya seraya menaklukkan kuasa moralnya sendiri demi kepentingan yang sesaat. 

Seperti yang terbaru ditampilkan oleh salah satu calon yang juga menyandang status Kiai (ABUYA BUSYRO KAREM), dengan memasang banner bertuliskan ; "IKUT ULAMA MENUJU SURGA, IKUT UMAMAH JADI BAHAGIA, KEDUANYA ADA PADA CALON BUPATI". Isu semacam ini layak menjadi catatan mengingat dalam tulisan tersebut terdapat sesuatu yang menurut Kertzer (1988:44) Proses mistifikasi dalam dunia politik. 

Walaupun hal semacam itu sudah biasa sebagai upaya mengonstruksi (baca: mengelabui) realitas sosial guna menggalang dan mendulang dukungan seluas-luasnya, namun hal tersebut bisa dianggap (a)moral ketika yang melakukan adalah oknum kiai yang diyakini lebih paham terkait ajaran agama dan etika. Apakah itu termasuk contoh yang baik atau bukan, silahkan dinilai sendiri. 

Disinilah kita patut mempertanyakan nalar yang digunakan untuk meraih kekuasaan, mungkinkan masih mencerminkan sebagai kiai atau tidak?, menggunakan paradigma Machiavellian yang selamanya bertolak belakang secara diametral dengan watak dasar moralitas itu sendiri; menghalalkan segala cara (the ends justifies the means). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline