Lihat ke Halaman Asli

Maulidiyah Rahmawati

Mahasiswa Universitas Airlangga

Bioskop Dalam Perekonomian Kota Surabaya Tahun 1950-2000

Diperbarui: 19 Juni 2024   20:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Facebook Surabaya Tempo Dulu

Di era yang serba canggih diiringi teknologi yang mumpuni pada dewasa ini, siapa yang tidak mengetahui mengenai apa itu bioskop?

Tempat yang menawarkan berbagai kategori hiburan film dengan visualisasi dan sinematografi yang canggih ini nampaknya menjadi kesukaan masyarakat dalam menghabiskan waktu luang atau bahkan telah mem-booking waktu nya tersendiri untuk sekedar menyaksikan film kesayangan yang telah dinantikan.

Bioskop yang secara harfiah diambil dari bahasa Yunani dari gabungan kata bios yang berarti hidup dan skoein yang berarti melihat dan mengamati ini, sejak awal kehadirannya diartikan sebagai gambar yang hidup.

Awal keberadaan bioskop di Indonesia sendiri tidak lepas dari perubahan sosial yang terjadi pada masyarakatnya. Hal ini dikarenakan di Indonesia saat itu sedang berada pada “masa etis”, yang mana pada masa-masa ini Indonesia mengalami ekspansi ke arah positif, ditambah dengan adanya efisiensi dan kesejahteraan masyarakat yang mulai diperhatikan. Sehingga mulai dari pelayanan dalam urusan hunian, peningkatan pertanian, transportasi, kesehatan dan pendidikan semuanya menjadi aktivitas yang dibebankan oleh negara (Shiraishi, 1996: 10-36). Kemudian munculnya iklan harian Bintang Betawi tentang pemutaran film pertama di Indonesia sangat jelas bahwa Indonesia juga mengalami perkembangan di dunia hiburan. Perkembangan di dunia hiburan yang terjadi di Indonesia berdampak pada dibangunnya bioskop pertama yang didirikan pada tahun 1900 di Jalan Tanah Abang I, Kota Batavia dengan harga 1 karcis atau tiket masuk kala itu berkisar 2 gulden (perak) (Wijaya, 2012:14). Kala itu, menonton film di bioskop merupakan suatu hiburan untuk orang-orang kelas atas dan menengah, sehingga tidak semua orang dapat menikmatinya. Namun, hal ini berbeda ketika bioskop mulai silih berganti dibangun di kota-kota yang ada di Indonesia, dan salah satunya adalah di Kota Surabaya.

Akan tetapi, jauh sebelum munculnya bioskop untuk tempat menonton film sebagai tontonan dan hiburan masyarakat Surabaya, mereka terlebih dahulu memiliki sebuah hiburan secara tradisional yakni dengan menonton pertunjukkan ludruk dan wayang kulit yang mana kisah dan cerita nya telah melekat di benak juga hati masyarakat, sehingga tidak jarang meskipun dunia perfilm-an telah hadir di Surabaya, mereka masih tetap ingin melihat pertunjukan ludruk dan wayang kulit sebagai sarana hiburan. Namun, seiring perkembangan zaman dan berlalunya waktu, ludruk dan wayang mulai tergantikan dengan adanya pertunjukan teater sandiwara keliling di Surabaya yang bernama Komedi Stambul.

Sumber: Facebook Keluarga Batik Betawi

Komedi Stambul merupakan sebuah pertunjukkan yang didirikan oleh August Mahieu dengan menyajikan musik di setiap penampilannya yang biasanya diiringi oleh musik gambus, keroncong mars, dan polka. Sementara itu, asal muasal kata Stambul berasal dari nama Istambul yang digunakan untuk memberikan kesan eksotik dunia timur. Apalagi saat itu, Istambul terkenal sebagai kota kebudayaan, dengan cerita-cerita sejarah yang dramatis dan memerlukan usik serta nyanyian pengiring yang menghidupkan suasana tragedi (Kusuma, 2021). Dari sinilah dimulai era teater atau opera Stambul yang ditandai dengan munculnya rombongan opera semacam Miss Riboet's Orion dan Dardanella. Tidak hanya itu, dengan hadirnya kedua rombongan opera tersebut membawa pembaharuan dalam tontonan panggung, segi struktur lakon, dan pembagian babak serta adegan yang terinci (Mitalia & Devi, 2018). Pembaharuan yang dilakukan oleh kedua rombongan opera tersebut mampu mengalihkan era Stambul ke era Toneel, atau yang dalam bahasa Belanda berarti sandiwara (Biran, 2009:17). Selain itu, mayoritas penonton Komedi Stambul berasal dari  kalangan masyarakat kelas menengah kebawah, seperti pemabuk Eropa, keluarga Muslim kelas menengah, orang-orang Tionghoa, pekerja prostitusi, pelaut dan tentara (Cohen, 2006:1). Perlahan tapi pasti, masyarakat yang sebelumnya rela mendatangi tempat-tempat pertunjukkan tradisional itu pun lambat laun akan bergeser dan berpindah kepada pertunjukkan modern seperti menonton film di bioskop.

Hadirnya bioskop di Surabaya pada dasarnya merupakan sebuah tanda perkembangannya zaman yang ditandai pula dengan berubahnya bentuk hiburan yang semakin mengandalkan teknologi. Bioskop yang merupakan salah satu sarana media hiburan yang kian hari kian populer ini ternyata memiliki pengaruh dan dampak yang besar bagi masyarakat di Kota Surabaya itu sendiri. Dengan munculnya film yang dapat ditonton oleh masyarakat dapat mempengaruhi perilaku, gaya bicara dan gaya hidup masyarakatnya. Sehingga tak jarang mereka akan meniru bagaimana tingkah laku dan kehidupan dari sang tokoh idaman. Akan tetapi, dengan hadirnya bioskop di Surabaya pasti memberikan dampak, baik negatif dan positif. Dampak negatif dari kehadiran bioskop di Surabaya ini adalah tergesernya pertunjukkan tradisional yang dulunya merupakan pertunjukkan favorit masyarakat, yang mana semakin hari pertunjukkan tradisional seperti ludruk dan wayang kulit semakin sedikit peminat dan beralih kepada menonton film. Sedangkan dampak positif yang dapat dirasakan oleh Kota Surabaya dari adanya bioskop adalah yakni mendapatkan penghasilan dari pajak. Seperti yang terjadi abad ke-19, sebuah bisnis penduduk, baik pribumi dan non pribumi sama-sama dikenai pajak (Basundoro, 2023: 288). Mengenai dibangunnya bioskop pun juga tidak luput dari pungutan pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintahan yang berupa pajak perfilman, baik dari pajak tanah gedung dan bangunan (perijinan mendirikan bangunan), harga tiket masuk, dan pajak film itu sendiri.

Berangkat dari pernyataan tersebut, tulisan ini akan mengambil sebuah rumusan permasalahan, yakni tentang bagaimana bioskop dapat menjadi penggerak perekonomian kota surabaya di tahun 1950-2000. Dipilihnya tahun 1950 sebagai batas awal karena di tahun tersebut banyak film-film impor yang ditayangkan di surabaya, sehingga kemungkinan besar banyak masyarakat yang datang untuk menonton film di bioskop. Sedangkan pada batas akhir pemilihan topik ini yang menggunakan tahun 2000 dikarenakan di tahun tersebut, bioskop sudah banyak ditemukan dimana-mana, tak terkecuali di Surabaya. Sehingga kemungkinan besar pula banyak masyarakat yang datang untuk menonton pula. Oleh karena itu batas-batas temporal tersebut diharapkan dapat mewakili bagaimana sebuah bioskop dapat menjadi sumber pendapatan dari sektor perekonomian di Kota Surabaya di tahun 1950-2000.

Hadirnya bioskop di Surabaya dan perkembangannya

Pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20, Kota Surabaya menjadi kota yang paling penting dan paling besar mengalahkan kota lainnya, yang mana kala itu Surabaya tumbuh menjadi kota perdagangan dan industri utama yang didukung oleh Kawasan hinterland yang sangat subur (Basundoro, 2012). Sehingga menjadikan kawasan Surabaya sebagai tempat mengumpulkan hasil-hasil bumi dari daerah pedalaman seperti kopi, gula, tembakau, dan karet untuk diekspor dan tempat impor bahan-bahan dasar, mesin, dan barang-barang konsumsi luar negeri (Putri, 2015: 547). Tak hanya itu, pada tahun 1912 terjadi pembangunan pelabuhan laut modern bernama Tanjung Perak yang terletak di muara Kali Brantas yang terkenal dengan nama Kalimas. Dalam waktu singkat pelabuhan Surabaya melebihi pelabuhan Tanjung Priok Jakarta. Hal ini lah yang menjadikan wilayah padat penduduk dan diminati para pedagang asing yang berdagang bertempat di Surabaya. Selain itu, wilayah Surabaya yang semakin hari semakin pesat, mulai bergerak dari Kota tradisional menjadi Kota yang modern. Tak luput juga dari bidang hiburannya, yang telah mengalami perubahan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline