Saat ini, 70 % daerah perikanan di Indonesia telah mengalami over fishing (tangkap lebih), yang ditambah dengan penangkapan ikan secara merusak dan illegal fishing yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Dalam peta sumberdaya perikanan Jawa Timur, perairan Selat Madura dan perairan Madura Kepulauan merupakan perairan yang sudah dalam kondisi tangkap lebih (overfishing), selain perairan Laut Jawa dan Perairan Selat Bali (Kusnadi, 2003). Kawasan pesisir yang kondisi perairannya sudah tangkap lebih berpengaruh terhadap tingkat kehidupan sosial ekonomi masyarakat nelayannya. Isu-isu atau permasalahan kemiskinan, kesenjangan sosial, kelangkaan sumberdaya perikanan, konflik sosial antar kelompok nelayan dan kerusakan ekosistem wilayah pesisir dan laut sangat mewarnai kehidupan masyarakat nelayan di pesisir Madura. Hal-hal tersebut terjadi berkaitan erat dengan pola-pola pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh masyarakat setempat.
Senada dengan Kusnadi, hasil penelitian Hikmah (2008) menunjukkan bahwa terdapat 6 (enam) tipologi konflik kenelayanan di wilayah perairan Selat Madura, provinsi Jawa Timur yaitu: konflik kepemilikan sumberdaya, konflik pengelolaan sumberdaya, konflik cara produksi/alat tangkap, konflik lingkungan, konflik usaha dan konflik primordial. Konflik cenderung terbuka dan bernuansa kekerasan seperti pada kasus konflik antara nelayan Batah, Kecamatan Kwanyar dengan nelayan-nelayan Kabupaten Sampang dan Kabupaten Pasuruan. Isu utama yang menjadi akar permasalahan konflik adalah berkaitan dengan isu keterbatasan sumberdaya perikanan Selat Madura yang telah overfishing.
Kemiskinan Nelayan, Konflik dan Permasalahan Lain di Pesisir Madura
Salah satu parameter yang dapat digunakan untuk melihat ketertinggalan Madura adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yang disusun berdasarkan empat indikator, yakni angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan pengeluaran per kapita. Parameter tersebut menempatkan Madura di posisi terbawah dari daerah-daerah lain di Jawa Timur. IPM Madura pada tahun 2006 tercatat 61,50. Angka ini berada di bawah IPM rata-rata Provinsi Jatim yang mencapai 70,33 dan termasuk kategori menengah ke bawah dalam klasifikasi IPM (Rukardi, 2009).
Angka ini dikuatkan oleh data kemiskinan BPS Provinsi Jatim hasil Sensus Ekonomi tahun 2006. Disebutkan bahwa jumlah penduduk miskin di Madura rata-rata mencapai lebih dari 31%. Nilai tersebut merupakan persentase tertinggi di Jawa Timur. Di Kabupaten Bangkalan misalnya, ada 2.883.000 orang (31,56%), Kabupaten Sampang 3.389.000 orang (39,42%), Kabupaten Pamekasan 2.574.000 orang (32,43%), serta Kabupaten Sumenep 3.255.000 orang (32,98%).
Masuknya modal dan teknologi penangkapan yang lebih canggih, mengakibatkan ketegangan sosial antara nelayan tradisional dan nelayan perahu modern meningkat dan potensial menimbulkan konflik. Akibatnya persaingan antar nelayan untuk memperoleh hasil tangkapan semakin tinggi, yang kemudian biasanya diiringi dengan pemboman atau penggunaan potasium untuk memperoleh hasil tangkapan yang tinggi.
Bersamaan dengan hal tersebut, terjadi kerusakan lingkungan karena pencemaran dari wilayah daratan yang cukup besar. Wilayah pesisir barat Selat Madura merupakan tempat sentra-sentra industri bertumbuh. Konversi lahan pesisir untuk kepentingan pembangunan juga cukup tinggi, apalagi ditambah dengan pembangunan Jembatan Suramadu yang tentunya akan diiringi dengan rencana industrialisasi kawasan tersebut. Namun hal ini tidak diimbangi dengan kesadaran pelaku industri dan pemerintah daerah untuk menyelamatkan ekosistem pesisir dan laut, yang mengakibatkan tingkat kelangkaan sumberdaya perikanan menjadi kian tinggi.
Bagi nelayan Madura, konflik di antara mereka didasari oleh persepsi yang menempatkan sumberdaya perikanan sebagai hal yang prinsip untuk menunjang kelangsungan hidup. Di wilayah laut, sumberdaya perikanan merupakan unsur yang penting dalam kehidupan nelayan sehingga perolehan sumberdaya perikanan berpengaruh terhadap harga diri nelayan. Sehingga konflik yang terjadi antar nelayan Madura berlangsung sangat eksplosif dan intensif.
Penghasilan yang tidak menentu dan permasalahan rentenir, merupakan sedikit dari banyak hal permasalahan yang sering dijumpai pada masyarakat nelayan di kawasan pesisir. Dari hasil studi yang ada dapat disimpulkan bahwa tekanan-tekanan kehidupan yang dialami oleh keluarga nelayan, baik nelayan buruh, nelayan kecil ataupun nelayan tradisional, relatif intensif dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain di desa pertanian atau perkampungan kumuh di daerah perkotaan.
Kesulitan menciptakan peluang-peluang kerja non-perikanan atau diversifikasi usaha perikanan, dan terbatasnya sumberdaya ekonomi lainnya di desa-desa nelayan akan semakin meningkatkan ketergantungan nelayan terhadap hasil laut. Kegagalan kebijakan pembangunan kawasan pesisir, modernisasi perikanan, dan program-program pemberdayaan dalam mengatasi kemiskinan nelayan semakin menambah daftar panjang permasalahan yang terjadi pada masyarakat nelayan pesisir pulau Madura.
Adaptasi Budaya Masyarakat Pesisir Madura dalam Strategi Pengelolaan
Sebagian besar strategi pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan selat Madura tidak diimbangi dengan upaya-upaya nelayan untuk melakukan konservasi lingkungan. Hanya sebagian kecil nelayan, biasanya nelayan tradisional, yang melakukan hal tersebut. Pada masa lalu sampai dengan akhir tahun 1930an, nelayan di perairan Selat Madura memiliki dan mengatur daerah-daerah perikanan mereka berdasarkan batas-batas yang disepakati bersama, dengan memberikan sanksi-sanksi tertentu jika terjadi pelanggaran. Pembagian ini merupakan upaya dari strategi mereka untuk melindungi sumberdaya perikanan di kawasan perairan tersebut. Namun dalam perkembangan masa-masa berikutnya sudah tidak ada lagi. Hal ini kemungkinan dipicu dari pengurasan sumberdaya perikanan di kawasan tersebut sehingga terjadi perubahan ekologi yang menyebabkan ikan-ikan menjauh dari perairan pantai (Munsi Lampe, 1989 dalam Kusnadi, 2003).
Lalu, bagaimana strategi pengelolaan sumber daya perikanan yang mampu beradaptasi dengan kelangsungan hidup masyarakat di pesisir Selat Madura?
Nilai-nilai budaya masayarakat Madura dapat dilihat dari (Kusnadi, 2003): (1) penempatan bahasa Madura dan agama Islam sebagai identitas utama etnik Madura, (2) penghormatan yang tinggi terhadap orang tua, kiai-ulama, dan pemerintah (buppa’-babu’, guru, rato), dan (3) penghargaan yang tinggi terhadap harga diri. Selain hal tersebut di atas, ciri budaya lain masyarakat pesisir Madura adalah : menghargai kompetisi sosial secara objektif dan jujur dan menempatkan kekayaan sebagai lambang keberhasilan hidup. Masyarakat pesisir Madura juga cenderung memenuhi kebutuhan konsumtif yang bersifat subsistensi, bukan kebutuhan yang bersifat produktif. Namun di samping itu, nelayan-nelayan Madura juga memiliki etos kerja maritim yang berakar kuat dalam tradisi kebudayaan mereka.
Untuk mengadaptasikan budaya masyarakat pesisir Madura dalam strategi pengelolaan sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan itu sendiri, beberapa hal berikut ditawarkan yaitu:
Sistem pembagian kerja yang fleksibel dan adaptif dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Ragam kerja yang dapat dilakukan istri adalah seperti mengumpulkan kerang-kerangan, mengolah hasil ikan, mengolah sampah menjadi kertas daur ulang atau pupuk kompos, mengolah limbah atau sisa pemanfaatan ikan menjadi pakan ikan, pembuatan kerupuk, terasi atau produk makanan lainnya. Penghasilan yang diperoleh dapat digunakan sebagai sumber alternatif pendapatan keluarga bagi masyarakat nelayan pesisir Madura.
Menciptakan pranata-pranata tradisional, seperti pembentukan kelompok pengajian, simpan pinjam dan arisan, yang dapat mempererat hubungan sosial budaya dan sekaligus diharapkan dapat membantu mengatasi ketidakpastian penghasilan ekonomi. Pembentukan pranata simpan pinjam ini diharapkan bersifat sederhana, fleksibel dan adaptif terhadap kondisi sosial ekonomi lokal. Dengan menciptakan, mengembangkan dan memelihara hubungan-hubungan sosial yang kemudian membentuk jaringan sosial diharapkan akan memudahkan anggotanya memperoleh akses ke sumberdaya ekonomi.
Seperti disebutkan sebelumnya, dengan penghasilan yang tidak menentu dan kemiskinan yang dialami, tak heran jika banyak di antara masyarakat nelayan pesisir Madura yang terpaksa merantau ke luar pulau atau terpaksa menjadi pekerja sektor informal, seperti buruh bangunan atau pedagang. Untuk itu, diversifikasi pekerjaan merupakan upaya dan pilihan rasional yang akan lebih menguntungkan dalam menjamin kelangsungan hidup dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat nelayan pesisir Madura.
Pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan usaha ekonomi bisa diberikan, terutama dalam rangka membekali masyarakat dengan usaha ekonomi alternatif, antara lain yaitu :peningkatan pengetahuan dan wawasan lingkungan, pengembangan keterampilan masyarakat, pengembangan kapasitas masyarakat, pengembangan kualitas diri, peningkatan motivasi masyarakat untuk berperanserta, dan penggalian dan pengembangan nilai tradisional masyarakat.
Aspek-aspek budaya Madura dapat digunakan sebagai sarana resolusi konflik nelayan. Upaya pencegahan konflik (resolving) lain yang juga dapat dilakukan adalah seperti sosialisasi hukum dan perundangan perikanan kepada masyarakat nelayan atau patroli aparat Keamanan Laut dalam hal pengawasan dan penegakan hukum perikanan.
Selama ini, faktor-faktor sosial budaya masyarakat yang kurang dikuasai dengan baik oleh pelaksana program sehingga pada akhirnya menjadi hambatan yang potensial. Diperlukan kesadaran dan kemauan politik dari berbagai pihak, khususnya pemerintah kabupaten/kota untuk menempatkan kawasan pesisir dan perairan selat Madura sebagai potensi pembangunan daerah di masa mendatang. Oleh karena itu, sosialisasi intensif tentang berbagai persoalan sosial, ekonomi, dan lingkungan di pesisir dan perairan Selat Madura perlu dilakukan untuk membangun wacana dan kepedulian publik. Hal ini dirasa efektif karena pemerintah kabupaten/kota memiliki legitimasi politik yang kuat, dapat memahami masyarakat dengan baik karena kedekatan emosi dan sosial, dan pengambilan keputusan bisa dilakukan secara cepat karena rentang birokrasi yang pendek (Kusnadi, 2002).
Secara kuantitatif, kajian tentang masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir masih sangat terbatas jika dibandingkan dengan masyarakat petani atau masyarakat perkotaan. Padahal, kajian terhadap masyarakat nelayan ini memiliki nilai yang sangat berarti untuk kepentingan pembangunan manusia, terutama di kawasan pesisir. Hal ini sangat ironis jika dikaitkan dengan negara kita sebagai negara maritim yang terbesar di dunia. Kelangkaan ini juga mencerminkan lemahnya perhatian kita di bidang kemaritiman (ocean policy), sehingga akhirnya pembangunan terhadap sektor kemaritiman nasional masih terbelakang. Untuk itu, adalah hal yang sangat rasional jika mulai sekarang akar kultur dan budaya negara maritim ini harus mulai ditonjolkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H