Isu keadilan internasional kembali menjadi sorotan setelah Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengajukan tuntutan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, atas dugaan pelanggaran hukum internasional. Namun, langkah ICC ini memicu gelombang penolakan dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Prancis, dan Italia. Penolakan tersebut mencerminkan dinamika politik global yang kompleks, di mana kepentingan strategis sering kali bertabrakan dengan prinsip keadilan universal.
Di satu sisi, ICC berusaha menunjukkan komitmennya terhadap penegakan hukum tanpa pandang bulu. Di satu sisi, respons negara-negara penolak ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah hukum internasional benar-benar mampu berdiri independen di tengah tekanan geopolitik? Tulisan ini akan mengupas latar belakang tuntutan terhadap Netanyahu, analisis penolakan dari pihak-pihak yang berpengaruh, dan implikasinya terhadap masa depan keadilan global di era modern. Apakah ini langkah maju untuk supremasi hukum internasional, atau justru menjadi bukti nyata dari kelemahannya?
Amerika Serikat muncul sebagai satu-satunya negara besar yang secara terbuka menolak keputusan ICC. Gedung Putih berargumen bahwa ICC tidak memiliki yurisdiksi atas Netanyahu. Presiden Joe Biden bahkan menyebut surat perintah tersebut sebagai tindakan yang berlebihan dan menegaskan bahwa tidak ada kesetaraan moral antara Israel dan Hamas.Seperti dilansir dari Lemonde, sikap ini memicu kritik dari dalam negeri, terutama dari kalangan progresif yang memandangnya sebagai bentuk pembelaan terhadap genosida yang dilakukan oleh Israel di Gaza.Pemerintah AS kembali menunjukkan biasnya terhadap Israel, meskipun kejahatan perang yang jelas telah terjadi. Ironisnya, pada tahun 2023, pemerintah AS mendukung surat perintah ICC terhadap Vladimir Putin, dapat dlihat ketidakkonsistenan mereka dalam sikap terhadap keadilan internasional. Penolakan yang dilakukan oleh negara-negara ini untuk bekerja sama dengan ICC dalam usaha menangkap Netanyahu tidak hanya merusak kredibilitas mereka tetapi juga mengkhianati para korban kejahatan perang Israel di Gaza.
Lebih dari 44. 000 warga sipil, dengan sebagian besar terdiri dari perempuan dan anak-anak, telah menjadi korban dari serangan Israel. Ketidakadilan yang terjadi ini hanya akan semakin meluas jika negara-negara yang seharusnya berperan sebagai pelindung hukum internasional memilih untuk mendukung pelaku alih-alih korban.
Dikutip dari media The Guardian, Pada awalnya Prancis ingin melakukan upaya membantu ICC dalam upaya penangkapan PM Israel tersebut karena kejahatan manusia yang telah dilakukan, karena Prancis adalah anggota dari ICC dan mempunyai komitmen untuk mematuhi kewajiban sebagai anggota ICC. Namun selang beberapa hari setelah ICC mengeluarkan surat penangkapan, Prancis mengubah sikapnya, bahwasannya Benjamin Netanyahu sebagai PM Israel tidak termasuk anggota ICC dan memiliki kekebalan hukum karena tidak ada sangkut paut keanggotaanya di ICC "Kekebalan hukum berlaku untuk Perdana Menteri Netanyahu dan menteri lain yang bersangkutan, dan harus dipertimbangkan jika ICC meminta kami untuk menangkap dan menyerahkan mereka," demikian kutipan pernyataan dari pemerintah Prancis, dari pernyataan pemerintah prancis tersebut terdapat adanya berat sebelah terhadap fakta yang bertolak belakang dengan apa yang Prancis lakukan pada Vladimir Putin Selaku Presiden Rusia saat terjadinya intervensi di Ukraina yang tetap dijadikan sebagai sasaran penangkapan Kejahatan Manusia.
Kelompok hak asasi manusia, termasuk Amnesty International dan Human Rights Watch, mengecam keputusan Prancis. Mereka menganggap sebagai pelanggaran serius terhadap prinsip keadilan internasional. Kelompok tersebut berpendapat bahwa Prancis tampaknya lebih mengutamakan hubungan politik dengan Netanyahu dibandingkan dengan keadilan bagi para korban kejahatan perang. Tindakan ini juga dipandang sebagai "hadiah" untuk Netanyahu atas kesepakatan gencatan senjata yang didukung oleh Prancis di Lebanon, yang semakin memperkuat tuduhan bahwa Prancis mengorbankan prinsip hukum demi kepentingan politik.
Hukum humaniter internasional (HHI), yang sering disebut sebagai hukum perang, mengatur perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata, dengan tujuan melindungi mereka yang tidak terlibat secara langsung dalam permusuhan, seperti warga sipil. Konvensi Jenewa 1949 dan protokol tambahannya menjadi dasar dari HHI, yang mengkriminalisasi tindakan seperti pembunuhan massal, penyiksaan, dan serangan tanpa pandang bulu terhadap penduduk sipil.
ICC, sebagai pengadilan internasional permanen, memiliki mandat untuk mengadili individu atas kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, dan kejahatan agresi. Dalam konteks Netanyahu, tuduhan berkaitan dengan dugaan pelanggaran hak asasi manusia dan hukum humaniter di wilayah pendudukan Palestina, termasuk pembangunan permukiman ilegal, yang dinilai melanggar Pasal 49 Konvensi Jenewa Keempat.
Prinsip Responsibility to Protect (R2P), yang diadopsi oleh PBB pada 2005, menyatakan bahwa negara memiliki tanggung jawab melindungi penduduknya dari genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ketika negara gagal melaksanakan tanggung jawab ini, komunitas internasional dapat campur tangan melalui tindakan kolektif. Dalam konteks konflik Israel-Palestina, R2P memberikan dasar moral dan legal bagi ICC untuk menyelidiki dan, jika perlu, menuntut para pihak yang bertanggung jawab atas pelanggaran berat.
Meski demikian, langkah ICC terhadap Netanyahu mendapat tantangan diplomatik dari negara-negara besar. Amerika Serikat, misalnya, secara konsisten menolak yurisdiksi ICC atas Israel, yang bukan merupakan negara pihak dalam Statuta Roma. Penolakan serupa disuarakan oleh Prancis dan Italia, yang menyebut tindakan ini dapat memperburuk ketegangan geopolitik di kawasan.
Alasan utama penolakan ini berakar pada kepentingan politik, ekonomi, dan strategis dengan Israel. Selain itu, negara-negara ini juga mempertanyakan netralitas dan legitimasi ICC dalam menangani kasus yang berpotensi bersifat politis. Namun, kritik terhadap ICC juga menunjukkan kelemahan struktural dalam sistem keadilan internasional, termasuk ketergantungan pada dukungan negara-negara besar.