Lihat ke Halaman Asli

MAULIDA AZIZAH

Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran

Menyingkap Jubah Semar: Analisis Kritik Sosial dalam Cerpen Semar Karya Putu Wijaya

Diperbarui: 24 Juni 2024   20:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di tengah hiruk pikuk modernitas, karya sastra tak henti menghadirkan refleksi kritis terhadap realitas sosial. Salah satu contohnya adalah cerpen "Semar" karya Putu Wijaya yang terbit di Kompas pada tanggal 24 Desember 2023. Cerpen ini membawa pembaca menyelami pusaran peperangan antar kerajaan, menguak ambisi kekuasaan, dan mengantarkan pesan perdamaian yang menggema.

"Semar" berlatar peperangan antara dua kerajaan, dipimpin Baginda dan musuh bebuyutannya. Di tengah persiapan pertempuran sengit, Baginda dihadapkan pada dilema antara ambisi kemenangan dan keselamatan rakyatnya. Sosok Semar, sang penasihat bijaksana, hadir untuk menawarkan solusi dan membuka tabir realitas di balik gejolak peperangan.

Putu Wijaya, sastrawan ternama Indonesia, dikenal dengan karya-karyanya yang lugas dan sarat kritik sosial. Tak heran,cerpen "Semar" pun sarat dengan pesan-pesan kritis yang mengajak pembaca merenungkan realitas di balik gejolak politik dan ambisi kekuasaan.

Kritik Tajam terhadap Ambisi Kekuasaan: Baginda dan Dilemanya

Baginda, pemimpin salah satu kerajaan, digambarkan sebagai sosok ambisius yang rela mengorbankan nyawa rakyatnya demi meraih kemenangan perang. Kegigihannya dalam mencapai tujuan, tanpa mempertimbangkan dampaknya, menjadi cerminan ambisi kekuasaan yang tak terkendali.

"Seluruh moncong senjata sudah membidik ke arah musuh. Tinggal muntah, menunggu sedikit gerakan kecil, sehalus langkah semut pun, aba-aba tembak tak perlu dinanti lagi. Pelatuk senapan dan knop rudal sudah otomatis akan bertindak. Sebelum musuh sempat bernapas, seluruh kepungannya akan habis kikis kita sikat ludes. Dan persada kita akan kembali aman." (Putu Wijaya, 2023)

Kutipan ini menunjukkan ambisi Baginda untuk meraih kemenangan perang dengan cara apa pun, bahkan dengan mengorbankan nyawa rakyatnya. Baginda hanya peduli dengan kemenangan dan tidak mempertimbangkan dampak perang terhadap rakyat.

Bahaya Perang: Luka yang Menggores Rakyat

"Semar" tak henti-hentinya menggambarkan sisi kelam peperangan. Di balik gegap gempita pertempuran, terbentang luka mendalam bagi rakyat. Penderitaan, kesengsaraan, dan hilangnya nyawa menjadi konsekuensi yang tak terelakkan dari ambisi para pemimpin.

"Apa gunanya menang kalau puluhan ribu rakyat terbunuh, luka, cedera, menderita, terganggu jiwanya seumur hidup? Apa gunanya menang kalau pembangunan dan pengorbanan yang dipersembahkan puluhan tahun untuk bangsa negara dan rakyat rontok jadi puing oleh perang?" (Putu Wijaya, 2023)

Kutipan ini menggambarkan sisi kelam peperangan, yaitu penderitaan yang dialami rakyat. Perang hanya membawa kemuliaan bagi pemimpin, tetapi rakyatlah yang menjadi korban.

Ketidakpercayaan Terhadap Pemimpin: Rakyat di Persimpangan Jalan

Rakyat, yang seharusnya menjadi pusat perhatian, justru terjerumus dalam ketidakpercayaan terhadap pemimpinnya. Keputusan Baginda untuk berdamai dengan musuh bebuyutannya menimbulkan keraguan dan pertanyaan di benak rakyat.

"Masak?"
"Untuk apa lagi perang sama besan! Kita kan cs. Rakyat tidak boleh dikorbankan hanya untuk kepentingan pemimpin."
"Jadi berdamai kita dengan musuh?" (Putu Wijaya, 2023)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline