Lihat ke Halaman Asli

Mendengar dengan Wajah

Diperbarui: 23 April 2016   16:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

 [caption caption="Sumber: dokumentasi pribadi"][/caption]Jika kita ingin anak tetap mempertahankan rasa takjub yang dibawanya sejak lahir, dia perlu ditemani setidaknya oleh satu orang dewasa yang dapat ikut merasakan perasaan itu, menemukan kembali bersamanya kegembiraan, kesenangan, dan misteri dunia tempat kita hidup. ~Rachel Carson.    

Setiap kali mendengar atau membaca tentang masalah yang melilit orangtua dan anak pada umumnya, jawaban sederhana yang sering saya berikan adalah “cobalah memperbaiki cara berkomunikasi Anda dengan mereka.” Persoalan yang banyak pula menimpa orang dewasa. Ketidakpahaman yang berangkat dari interaksi sederhana antar dua orang manusia. Yang tidak menghadirkan diri sepenuhnya di hadapan lawan komunikasinya

Seorang penulis dan pembicara parenting, peraih penghargaan Ibu Oklahoma tahun 2004, yang telah menulis 30 buah buku, Cheri Fuller, menorehkan cerita dalam salah satu bukunya yang berjudul, School Starts at Home, bahwa ada seorang ibu yang anak laki-lakinya baru saja pulang dari sekolah, taman kanak-kanak, dan  berusaha menceritakan kepada ibunya tentang apa yang terjadi pada hari itu di taman bermain sekolahnya. Sambil terus sibuk di dapur, ibunya berkata, “Ibu dengar, Ibu dengar,” tapi pikirannya tengah melayang jauh. Akhirnya, sang anak berhasil membuat ibunya mengambil posisi yang sama tinggi dengannya; ditaruhnya kedua telapak tangannya yang kecil pada wajah ibunya dan berkata, “Tetapi Ibu, maukah Ibu mendengar dengan wajah Ibu?” 

Membaca dialog singkat di atas, senantiasa menyadarkan saya bahwa betapa sangat berharganya perhatian ibu (dan ayah) di hati anak. Sebuah tindakan yang sepele dan seringkali diremehkan, tapi justru berdampak besar pada diri mereka. Kesibukan yang selamanya akan padat di mata kita semakin tidak memungkinkan anak mendapatkan hak-haknya. Sekalipun hanya untuk didengarkan.

Sungguh sulit  mendudukkan anak pada posisi sederajat dengan orang dewasa. Dalam pengakuan, dalam penghargaan, terlebih dalam laku sehari-hari. Kita bisa menyaksikannya dalam banyak contoh sederhana. Berbicara dengan posisi orangtua dan anak berdiri, dari kacamata psikologi bisa semakin menjauhkan relasi orang dewasa-anak. Bercakap-cakap tanpa membalikkan tubuh terlebih sambil jalan adalah hal yang tabu bagi orangtua, tapi dianggap biasa untuk anak-anak. Menyela perkataan anak adalah hal yang lumrah, tapi memotong pembicaraan orangtua menjadi sebuah tindakan yang tercela.

Kasus-kasus pelecehan anak, perilaku menantang di sekolah, anak-anak di bawah umur yang kedapatan nyabu atau mengisap lem, hampir setiap hari kita dengar dan baca kisahnya. Sampai-sampai kita sendiri pun jadi bosan membacanya. Kita nyaris bergeming sampai suatu ketika anak sendiri yang jadi korban atau menjadi pelakunya. Pasrah, apatis, bingung, mau menyalahkan siapa, dan mau memulai dari mana mengatasinya? Otak jadi penuh dengan berita-berita kriminal dan politik yang tumpang-tindih berlomba mencari perhatian siapa yang akan jadi prioritas pembaca.

Biasanya hanya ada dua cara mengatasi ini. Semangat mencari solusi atau sekalian pasrah karena bingung lalu memilih untuk tidak berbuat apa-apa. Dan berharap masalah akan berlalu atau selesai dengan sendirinya. Tapi justru dari sinilah awal petaka dimulai. Setiap orang secara manusiawi butuh diperhatikan. Terlebih bagi anak-anak. Sesederhana itu solusinya. Sayangnya, jika perhatian tersebut tidak ia dapatkan di rumah, maka lingkungan teman-teman pergaulannya dengan senang hati akan merangkulnya. Karena rumah bukan lagi tempat yang nyaman untuk kembali. Ayah dan ibu menyediakan mata, telinga, hidung, dan semua inderanya untuk sesuatu yang lain. Kepada benda yang berbentuk kotak persegi kecil di tangan, atau benda berbentuk persegi pipih yang selalu setia menunggu di pojok kamar. Pun jika bukan karena benda-benda tersebut, kesibukan mereka seolah tak ada habisnya. Orangtua menjadi sosok yang semakin sulit dijangkau. Dan pada suatu masa nanti, mungkin anak-anaklah yang berganti sulit untuk dirangkul. Mereka sudah telanjur menemukan dunianya. Yang sarat dengan penerimaan. Tanpa ada satu pun bagian dari diri mereka yang tertolak. Karena dengan sukarela mau sewarna dengan kelompoknya yang baru.

Anak-anak adalah filosof-filosof cilik yang selalu penuh dengan rasa ingin tahu yang besar. Ia bertanya, ia mencari tahu, ia menjelajah, ia penasaran pada banyak hal yang tampak berbeda di matanya. Ke mana ia akan melabuhkan pertanyaan-pertanyaan itu jika wajah-wajah orang dewasa di sekitarnya berpaling darinya? Karena mendengar dengan seluruh wajah kita menjadi salah satu kunci keberhasilan anak melalui masa-masa kecilnya yang sulit dan penuh dengan tantangan.

Akhirnya, apakah kita akan mengabaikannya atau memupuk potensinya dengan syarat mau mengubah cara berperilaku dan keseluruhan sikap tubuh kita terhadapnya? Karena mereka selamanya masih akan membutuhkan kita dalam melewati masa-masa tersulitnya. Maka makin mendesaklah untuk direnungkan ungkapan-ungkapan bijak dari Rachel Carson, seorang penulis kelahiran Springdale, Pennsylvania, Amerika Serikat, seperti yang saya kutipkan di awal tulisan ini.

                       

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline