Lihat ke Halaman Asli

Mencintai dengan Cara yang Sederhana

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mari kita bereksperimen. Bagi orangtua yang mempunyai anak, dan  para guru yang memiliki anak-anak didik di sekolah ataupun di mana saja mereka berada. Bahkan siapa pun kita, yang tidak menjadi salah satu dari kedua peran di atas, saya yakin bisa melakukannya. Bahkan seorang kakak terhadap adiknya, seorang adik terhadap kakaknya, atau kepada siapa pun anak-anak yang kita temui dalam perjalanan hidup kita.

Jika kita adalah seorang yang bukan pembaca aktif yang betah membedah buku berjam-jam, enggan menghadiri seminar atau acara-acara diskusi, tetapi menginginkan banyak perubahan dalam kehidupannya. Ingin relasi dengan pasangannya membaik, ingin komunikasi dan kedekatan dengan anak-anaknya terjalin kuat dan hangat, dan ingin meningkatkan kualitas pertemanannya dengan siapa pun, maka dua tips di bawah ini mungkin bermanfaat.

Pertama, mulailah dengan menumbuhkan rasa cinta.

Apa pun masalahnya, bagaimanapun kondisinya, serta sesulit bagaimanapun kelihatannya, awalilah dengan niat cinta yang tulus. Karena cinta itu egois. Manfaatnya jauh lebih banyak untuk kesehatan dan kebahagiaan diri kita sendiri sebagai orang yang mencintai, ketimbang manfaat untuk orang lain.

Untuk mampu melakukan aktivitas ini, diperlukan pembersihan hati terlebih dahulu. Jangan melihat status orang yang ada di hadapan kita, namun pandanglah ia sebagai makhluk ciptaan Allah yang sama-sama mulia, sama-sama agung, dan memiliki banyak kesamaan-kesamaan yang lain. Hal ini akan menjadi mudah, jika kita mampu melepaskan semua atribut-atribut yang melekat pada diri orang tersebut. Pertanyaan saya sederhana. Kalau ada cara memandang orang dengan mudah, kenapa kita memilih memandangnya dengan cara yang sulit dan rumit?

Contoh pandangan yang rumit. Misal seorang wanita perlente, turun dari mobil mewah,  berjalan ke arah kita. Dari penampilannya ia mencirikan khas orang kaya yang glamour. Melihat pemandangan seperti ini, biasanya otak  kita akan mengirim sinyal cepat ke pikiran bawah sadar,  mengolahnya berdasarkan pengalaman-pengalaman masa lalu, masa kecil, mengenai typical seorang yang “kaya”. Reaksi kita biasanya akan bertanya, dari mana kekayaan itu ia peroleh? Seberapa besar usahanya sehingga memampukan ia untuk hidup bergelimpangan harta seperti itu? Apakah suaminya bukan pejabat yang  masuk dalam daftar orang yang dicari oleh KPK? Wahh....rumit. Dan lain-lain pertanyaan yang  berseliweran dalam kepala.

Saat menghadapi situasi seperti ini, kita perlu menetralkan prasangka. Gunakan asas praduga tak bersalah dulu. Dengan tetap memancang tinggi antena kesadaran kita. Artinya di satu sisi, berprasangka baik, namun di sisi lain tidak membuka peluang  terperdaya untuk alasan apa pun. Biarkanlah situasi berjalan apa adanya. Sedapat mungkin kita menghindari subjektivitas. Meskipun hal itu berat untuk dilakukan. Hal ini pun berlaku untuk situasi yang sebaliknya, pada saat bertemu dengan orang-orang dari kalangan menengah ke bawah. Hindari kesan sombong, lebih pintar, lebih tinggi, dan lain-lain.

Contoh yang lain. Dalam keseharian saya mengajar anak-anak usia SD, bisa dipastikan bertemu dengan beraneka type kepribadian khas anak-anak. Ada anak yang pendiam, mudah mendengar, patuh ketika diberitahu sesuatu, tidak mudah berkonflik dengan anak-anak yang lain, serta rajin mengerjakan tugas yang diberikan. Sebaliknya, ada anak yang suka bikin ribut, tidak bisa duduk tenang, grasa grusu sulit duduk tenang, suka usil dengan temannya, berpakaian tidak rapi, kadang lupa bawa buku atau pulpen. Sangat sulit mendapatkan ketenangan jika ia ada di tengah-tengah kelas.

Meski  sudah banyak membaca teori tentang beragam tingkah laku anak dan cara penanganannya, namun tetap saja saya merasa kewalahan dengan  perilaku anak-anak yang seperti ini. Dengan kondisi lingkungan yang semakin semrawut, teknologi yang semakin canggih, kreativitas anak-anak pun semakin meningkat. Olehnya itu, untuk membantu  mengatasi kondisi kewalahan ini,  secara sederhana saya  menerapkan sebuah metode tatapan/pandangan cinta kepada mereka.

Sehingga sesulit apa pun perilaku mereka,  tidak pernah muncul rasa benci atau tidak suka pada anak-anak ini. Yang ada justru rasa kasihan . Kasihan dengan kondisi perlakuan orangtuanya,  kasihan dengan perasaan-perasaan tertekannya, dan kasihan dengan sejuta perasaan terhadap apapun bentuk-bentuk ketidakadilan yang mereka terima sehari-hari dari orang-orang dewasa di sekitarnya.

Kedua, jalani semua prosesnya dengan cinta.

Ketika pekerjaan dilakukan dengan perasaan senang maka bagaimanapun beratnya, ia akan tetap dikerjakan. Seseorang tak kan mudah mundur jika ia mau mencintai pekerjaannya. Persoalannya sekarang apakah rasa cinta itu muncul di depan atau di akhir? Kalau menurut saya, sebaiknya ia dimunculkan di awal, di tengah, dan di akhir. Mencintai adalah kata kerja. Jadi ada unsur mengupayakan di dalamnya. Mengupayakan berarti mau berusaha, mau menanamkan perasaan cinta, dan mau menyetel perasaan untuk mencintai.

Dengan cinta, hati akan senantiasa merasa damai. Damai meski berada di tengah-tengah pusaran masalah yang berat. Damai meski masalah tersebut nampak sulit dicarikan jalan keluarnya. Karena dengan memelihara perasaan damai, sesungguhnya sudah merupakan separuh dari solusi itu sendiri. Ketika hati damai, perasaan rileks akan muncul, yang pada akhirnya akan mengundang banyak ide-ide solusi muncul ke permukaan.

Kita tak pernah tahu, akhir dari setiap usaha yang kita lakukan. Namun satu hal yang pasti, jika kita mampu memulainya dengan cinta, mengawalnya dengan napas cinta, maka optimislah ia akan berakhir dalam naungan kebahagiaan dan kedamaian. Paling tidak, bahagia dan damai untuk diri sendiri.

Saya ingin menutup uraian tentang cinta ini dari John Robbins dalam buku The Secret Power of The Love: “Berikan cinta Anda, dengan bebas dan tanpa harapan. Berikan, dan segera hidup Anda akan penuh dengan cinta, dan Anda akan membuat yang lain berada di jalan cinta dan damai.”




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline