Lihat ke Halaman Asli

Antara Sinetron dan Novelnya

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

http://d.gr-assets.com/books/1305780863l/11401929.jpg

http://yannypandhega.files.wordpress.com/2013/10/000130.jpg [caption id="" align="aligncenter" width="258" caption="http://d.gr-assets.com/books/1305780863l/11401929.jpg"][/caption]

Antara nonton dan baca, kira-kira orang pilih yang mana ya? Jawabannya pastilah relatif, tergantung siapa yang menjawab. Untuk sebagian besar masyarakat kita, kegiatan nonton tampaknya lebih menggoda, lebih mengasyikkan,  dan tentu saja lebih mudah mencernanya. Karena ia melibatkan indera penglihatan dan pendengaran dalam waktu yang bersamaan. Sehingga otak tidak perlu bekerja keras untuk bisa memahami ceritanya.

Berbeda dengan aktivitas membaca, dimana yang terlibat hanya indera penglihatan saja, tanpa didukung indera pendengaran. Sehingga otak perlu bekerja lebih keras untuk mencerna dan menyambungkan rangkaian kalimat-kalimat yang ada di dalamnya. Jika diberikan pilihan, antara menonton sinetron TV atau film di bioskop, saya akan lebih memilih nonton film. Tapi jika pilihannya, antara nonton film atau membaca novelnya, maka saya lebih mau memilih baca novelnya saja.

Entah kenapa, setiap yang sudah baca novel tertentu, lantas berkesempatan nonton kisahnya dalam film, mereka akan berkomentar kurang puas dengan cerita dalam filmnya. Baik dari tokoh-tokoh yang memerankan cerita tersebut yang ternyata tidak sesuai dengan penggambaran imajinasi dari pembacanya, dialog-dialog yang terjadi, ataupun alur ceritanya, umumnya penonton merasa kecewa dengan suguhan cerita tersebut. Meskipun begitu, masih juga orang mau merogoh kocek untuk nonton filmnya.

Tapi dibandingkan nonton sinetron, yang suguhan iklannya sama panjangnya dengan ceritanya, nonton versi filmnya masih lebih menyenangkan. Setidaknya  penonton tidak dibuat penasaran oleh kisahnya yang harus rela diputus-putus, menunggu sambungan berikutnya.

CHSI (Catatan Hati Seorang Isteri) adalah sinetron yang sempat mengundang perhatianku. Pasalnya, gara-gara nonton tayangan acara Hitam Putih via You Tube (tidak nonton acaranya di hari H karena kurang info), yang menampilkan sosok Asma Nadia, seorang penulis 49 buku yang sudah sempat travelling ke 51 negara dan 107 kota lewat hobi menulisnya. Karena penasaran dengan cerita sinetronnya, maka saya pun berusaha menyempatkan nonton beberapa episode secara acak karena minimnya kesempatan dan waktu.

Ternyata yang namanya sinetron, yah tetap saja polanya sama dengan yang lain. Ada pemeran protagonis dan antagonisnya, penonton dibuat penasaran dengan kelanjutan ceritanya, dan lain-lain rasa yang biasanya muncul sebagai reaksi atas watak pemainnya yang bikin gemas dan kesal. (huaaa….sempat terpancing geram juga lihat tokohnya).

Akhirnya, karena memang tujuan awal saya adalah ingin mengetahui kualitas cerita dari sinetron tersebut, berhubung penulisnya seorang yang saya kagumi (pertama kali baca novelnya “Pesantren Impian” semester 3, tahun 1990-an), maka berhentilah saya di tengah jalan. Tanpa ada keinginan yang menggebu-gebu untuk mengetahui kelanjutan kisahnya.

Saya kemudian berkesimpulan, meskipun sebuah novel atau buku memuat kisah yang sangat bagus sekalipun, namun jika sudah dikemas dalam bentuk sinetron, maka bobotnya menjadi berkurang.  Tapi itulah selera pasar. Walaupun banyak yang tidak suka sinetron, namun di luar sana masih jauh lebih banyak lagi yang suka kisah-kisah kehidupan yang disinetronkan.

Pilihan kembali kepada masyarakat. Ingin jadi pembaca, pemirsa, atau penikmat sinetron?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline