Lihat ke Halaman Asli

Pasarku yang Sederhana

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1418912758866216042

Rumah kami dan pasar ini sudah berumur 20 tahun. Juga seumur dengan anak kami yang pertama. Meski menempati area tanah yang kecil namun manfaatnya sangat besar bagi warga yang bermukim di sekeliling pasar tersebut. Jenis dagangannya pun beraneka ragam, seberagam para penjual yang setiap hari mangkal di tempat ini. Ada ikan, sayur, buah-buahan, penjual gorengan, gerobak bakso, sampai penjual baju dan barang pecah belah juga ada.

Dulu sebelum menempati tempat yang sekarang disebut pasar ini, para pedagang tersebut berjualan dengan cara berjejer di sepanjang jalan yang menuju pasar. Mereka menggelar dagangannya mulai jam 8 pagi sampai jam 12 siang. Sama seperti sekarang. Dengan menggunakan sepeda onthel dan sepeda motor, pedagang-pedagang ini dengan sigap dan mudah dapat membereskan dagangannya setiap waktu pasar berakhir.

Atas inisiatif salah salah seorang sesepuh di daerah ini, yang bernama Haji Itung disewakanlah sebidang tanahnya untuk dijadikan pasar. Dan sebagai imbalannya setiap hari saya menyaksikan transaksi pembayaran sewa diberikan kepada beliau, yang besarannya tergantung pada strategis atau tidaknya lokasi lapak si penjual. Setiap jam 10 pagi pak Haji akan berkeliling meminta recehan 2000-3000 perak ke para pedagang ini. Nilai uang pada tahun 1990-an saat itu. Mungkin sekarang sewanya sudah naik beberapa kali lipat.

Pada musim hujan seperti sekarang ini, beberapa warga biasanya akan lebih memilih untuk menunggu penjual langganannya (naik motor) yang biasa disebut “pagandeng” lewat di depan rumah mereka. Pasalnya kondisi pasar yang tanahnya lebih rendah dari jalan di depannya biasanya penuh dengan genangan air kotor. Dan ini membuat kaki-kaki jadi basah dan tidak nyaman. Ibu-ibu banyak yang memperlengkapi diri dengan sepatu bot dan jas hujan. Komplitlah persiapannya menuju pasar.

Dari waktu ke waktu pasar ini dengan segala kekurangannya tetap menjadi pilihan para ibu dan beberapa kaum bapak. Dikarenakan harga-harganya yang relatif murah, hampir menyamai harga ikan di pusat pelelangan ikan, di Potere,  pinggir laut Makassar. Jadi, daripada jauh-jauh ke sana, makan ongkos angkot pula, lebih baik belanja di pasar dekat rumah. Hemat waktu, tenaga, dan biaya.

Selain karena harganya yang murah, para penjualnya juga ramah-ramah. Pembeli bahkan dengan mudahnya diberi utangan. Beberapa hari kemudian, atau beberapa minggu kemudian baru bayar. Pokoknya antara penjual dan pembeli sudah seperti keluarga sendiri. Ini juga yang menjadi alasan kenapa saya masih terus membeli ayam potong di sini, meski banyak isu yang menghebohkan soal ayam mati (bangkai) yang dijual di pasaran. Juga soal isu boraks yang dicampurkan dalam pembuatan tahu-tempe, ikan asin, dll. Karena unsur kepercayaan sudah tertanam selama belasan tahun. Mereka tentu tidak mau mengorbankan reputasinya hanya demi keuntungan yang sesaat.

Pembeli mungkin datang dan pergi di sini, namun beberapa dari wajah penjual ini masih tetap sama dengan yang saya kenal 20 tahun yang lalu. Bahkan beberapa pendatang dari Jawa pun sekarang sudah pandai berbicara dengan bahasa dan dialek warga setempat. Begitu pun dengan beberapa suku pendatang lainnya. Asimilasi budaya rupanya berhasil tertanam lewat interaksi yang terjalin di pasar-pasar tradisional seperti ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline