[caption id="" align="aligncenter" width="234" caption="http://4.bp.blogspot.com/_6Wb98zCLAZU/SfBht4fm9gI/AAAAAAAAAn4/E11YFVLcgGE/s400/tantrum.jpg"][/caption]
Melihat anak kecil yang merajuk, menangis dengan mudahnya, atau meronta-ronta karena meminta sesuatu pada orangtuanya atau orang dewasa yang ada di sekitarnya, membuat saya sering menggeleng-gelengkan kepala tak mengerti. Semudah inikah anak mengendalikan orangtuanya?
Tak perlu jauh-jauh, berkaca dari pengalaman sehari-hari, dari lingkungan sekitar tempat saya beraktivitas sehari-hari, saya sering mendapati kejadian-kejadian kecil yang membuat saya selalu kembali merenung. Jika semua orangtua paham akan aturan dasar bagaimana mulai mengendalikan perilaku si anak, maka tentu untuk selanjutnya banyak perilaku-perilaku besar yang akan bisa diatasi dengan mudah. Karena mengendalikan perilaku anak seperti di atas adalah salah satu pengajaran yang sangat mendasar dalam berinteraksi dengan anak sehari-hari.
Saya mengetahui ini lewat buku-buku, seminar, diskusi, pelatihan, dan pembelajaran yang terus-menerus dengan keempat anak saya, belasan keponakan, serta anak-anak yang saya ajar dan bertatap muka setiap hari. Dengan berani bisa saya jamin, anak-anak dan keponakan saya ketika masih kecil, tidak pernah melakukan salah satu dari tindakan di atas, yang dalam istilah psikologi, anak-anak yang sering meronta-ronta, mengamuk dan sejenisnya, adalah anak-anak dengan perilaku temper tantrum.
Tindakan anak-anak seperti di atas biasanya bermula dari keinginan mereka yang tidak terpenuhi. Akibatnya anak menangis. Karena anak mulai menangis, maka banyak orangtua mulai luluh, merasa kasihan, atau tak berdaya menghadapi tangisan anak yang semakin lama semakin kencang. Apalagi jika kejadiannya di tengah-tengah orang banyak, atau di tempat-tempat ramai lainnya, misal pasar, mall, taman bermain, tempat rekreasi, dan lain-lain. Karena pada umumnya orangtua merasa malu dan merasa tidak becus jika si anak mulai menangis, bahkan sampai mengeluarkan jurus mengamuk. Sehingga dengan segera orangtua memenuhi apa yang menjadi permintaan anak. Tanpa usaha untuk memikirkan dampak jangka panjang dari kebiasaan memperturutkan permintaan anak tersebut.
Menangis adalah senjata
Bukan hanya orang dewasa terutama perempuan yang memahami bahwa tangisan adalah salah satu senjata. Melainkan dalam dunia anak-anak pun mereka belajar bahwa jika saya meminta sesuatu, dan tidak diberikan, maka saya akan menangis. Karena dengan menangis, keinginan saya dengan mudah akan dituruti. Seperti itulah kira-kira dialog yang terjadi dalam benak anak kecil pada umumnya.
Jika orangtua mengerti permainan ini, maka ia tentu tidak akan dengan mudahnya merespon dengan menuruti keinginan si anak. Sekali dua kali membiarkan ia menangis tanpa usaha untuk memenuhi permintaannya, akan memberikan pelajaran pada si anak bahwa percuma saya menangis, karena orangtua saya akan bergeming. Alias aksi saya akan membuahkan kesia-siaan saja. Kurang lebih seperti itu dialog yang terjadi dalam benak seorang anak kecil yang menangis atau mengamuk.
Jika ini terjadi dua sampai tiga kali diiringi tindakan tegas dari orangtua, maka yakin dan percaya ia tidak akan mau mengulanginya lagi. Jadi, solusi anak menangis hanya karena permintaannya yang tidak dipenuhi, cukup dengan dibiarkan saja. Kalau orangtua dulu bilang, tidak ada anak yang meninggal hanya karena menangis.
Yang pasti orangtua yang bersangkutan pun perlu menegakkan konsistensi baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan. Misalnya apabila orangtua menjanjikan akan membelikan hadiah jika anak berhasil naik kelas dengan nilai yang memuaskan, maka orangtua wajiba memenuhinya. Jika anak menangis karena tidak mendapatkan haknya, maka orangtua tidak boleh marah pada anak. Sebaliknya orangtua perlu meminta maaf kepada anak jika ternyata janji tersebut tidak dapat dipenuhi karena satu dan lain hal yang tak bisa dihindari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H