Lihat ke Halaman Asli

Maulana Yusup

Mahasiswa Biologi & Manajemen

Laut China Selatan: Bara di Bawah Laut yang Mengancam Indonesia

Diperbarui: 30 Mei 2024   08:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Laut China Selatan merupakan kawasan strategis yang kaya akan sumber daya alam dan penting bagi perdagangan global. Kawasan ini diperkirakan memiliki cadangan minyak dan gas yang signifikan serta sumber daya perikanan yang melimpah, yang menjadikannya vital bagi ekonomi negara-negara di sekitarnya. Karena kepentingannya yang besar, Laut China Selatan menjadi pusat perhatian dalam hubungan internasional dan geopolitik. Sengketa wilayah di Laut China Selatan melibatkan beberapa negara, termasuk China, Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Indonesia. Klaim tumpang tindih atas wilayah ini sering menimbulkan ketegangan. China mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan melalui "sembilan garis putus-putus," sementara negara-negara lain mengklaim bagian tertentu berdasarkan hukum internasional. Indonesia, meskipun tidak memiliki klaim teritorial langsung, terlibat dalam sengketa terkait zona ekonomi eksklusif di sekitar Kepulauan Natuna.

Potensi peningkatan ketegangan dan konflik di Laut China Selatan tinggi karena berbagai faktor seperti klaim teritorial yang tumpang tindih, ekspansi militer dan pembangunan infrastruktur oleh China, serta persaingan untuk mengakses sumber daya alam. Insiden maritim, keputusan hukum yang tidak diakui, intervensi eksternal oleh negara-negara besar, dan diplomasi yang buntu juga memperburuk situasi. Tanpa upaya diplomatik yang efektif dan berkelanjutan, serta kesediaan negara-negara untuk berkompromi, risiko konflik di kawasan ini tetap signifikan.

Klaim "Sembilan Garis Putus-Putus" (Nine-Dash Line) China di Laut China Selatan tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, terutama di sekitar Kepulauan Natuna. Klaim ini adalah garis batas maritim yang ditetapkan oleh China, mencakup sebagian besar Laut China Selatan. Garis ini pertama kali muncul pada peta yang diterbitkan oleh pemerintah Republik China pada tahun 1947, dan kemudian dipertahankan oleh Republik Rakyat China setelah 1949. Nine-Dash Line China melintasi ZEE Indonesia di wilayah sekitar Kepulauan Natuna. China mengklaim bahwa wilayah ini merupakan bagian dari perairan tradisional penangkapan ikan mereka, meskipun klaim ini tidak diakui secara internasional dan bertentangan dengan ketentuan UNCLOS. Ketegangan antara Indonesia dan China di perairan sekitar Natuna sering meningkat akibat insiden yang melibatkan kapal nelayan China dan kapal patroli Indonesia. Pada beberapa kesempatan, Indonesia telah menangkap dan menahan kapal-kapal nelayan China yang dianggap melanggar ZEE Indonesia. Indonesia secara tegas menolak klaim China atas Nine-Dash Line yang melintasi ZEE-nya. Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa ZEE di sekitar Natuna adalah bagian yang sah dari wilayah maritim Indonesia, berdasarkan UNCLOS. Indonesia juga telah memperkuat kehadiran militer dan patroli di wilayah tersebut untuk mempertahankan kedaulatannya. Indonesia berusaha menyelesaikan sengketa ini melalui jalur diplomatik, termasuk melalui forum ASEAN dan hubungan bilateral dengan China. Indonesia juga berperan aktif dalam mendorong penyelesaian sengketa Laut China Selatan secara damai dan berdasarkan hukum internasional.

Aktivitas militer China yang meningkat di Laut China Selatan, termasuk pembangunan pulau buatan dan latihan militer, telah menjadi sumber ketegangan yang signifikan di kawasan tersebut. China telah melakukan reklamasi tanah secara besar-besaran di berbagai terumbu karang dan atol di Laut China Selatan, terutama di Kepulauan Spratly. Pembangunan ini melibatkan pengerukan pasir dan material lainnya untuk memperluas atau membangun pulau baru. Di pulau-pulau buatan tersebut, China telah membangun berbagai infrastruktur militer, termasuk landasan pacu, pelabuhan, hangar pesawat, radar, dan sistem pertahanan udara. Pangkalan-pangkalan ini memungkinkan China untuk memperluas jangkauan militernya di kawasan tersebut. China secara rutin mengadakan latihan militer berskala besar di Laut China Selatan. Latihan ini sering melibatkan angkatan laut, angkatan udara, dan pasukan amfibi, serta penggunaan berbagai jenis kapal perang, pesawat tempur, dan sistem senjata canggih. Latihan militer juga mencakup pengujian sistem senjata baru, termasuk rudal balistik anti-kapal dan teknologi militer canggih lainnya, yang bertujuan untuk menunjukkan kemampuan militer China dan mengirim pesan kekuatan kepada negara-negara lain di kawasan tersebut. Kapal-kapal angkatan laut dan penjaga pantai China secara rutin melakukan patroli di wilayah yang diklaimnya di Laut China Selatan. Patroli ini sering kali mendekati atau memasuki wilayah yang diklaim oleh negara-negara lain, meningkatkan risiko insiden maritim. Kehadiran militer yang berkelanjutan di pulau-pulau buatan dan perairan sekitarnya menunjukkan komitmen China untuk menegaskan klaim teritorialnya dan mempertahankan kehadiran strategis di kawasan tersebut.

Aktivitas militer China telah menimbulkan kekhawatiran dan respons dari negara-negara tetangga seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia, yang juga memiliki klaim di Laut China Selatan. Beberapa negara ini telah memperkuat pertahanan mereka dan meningkatkan patroli di wilayah yang diklaim. AS dan sekutu-sekutunya, termasuk Jepang dan Australia, sering melakukan operasi kebebasan navigasi (FONOPs) untuk menantang klaim China dan menjaga jalur pelayaran internasional tetap terbuka. Kehadiran militer AS di kawasan ini bertujuan untuk menyeimbangkan kekuatan dan mencegah dominasi China.

Penangkapan ikan ilegal oleh kapal-kapal China di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, terutama di sekitar Kepulauan Natuna, telah menjadi isu yang signifikan dan menambah ketegangan antara kedua negara. Kapal-kapal nelayan China sering terlihat beroperasi di perairan ZEE Indonesia di sekitar Kepulauan Natuna. Aktivitas ini melibatkan penangkapan ikan tanpa izin dari otoritas Indonesia, yang melanggar hukum maritim internasional. Beberapa laporan menunjukkan bahwa kapal-kapal nelayan China sering dikawal oleh kapal penjaga pantai China, yang bertujuan melindungi mereka dari penangkapan oleh otoritas Indonesia. Otoritas Indonesia, termasuk TNI Angkatan Laut dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, telah melakukan patroli rutin dan penangkapan terhadap kapal-kapal nelayan China yang melakukan penangkapan ikan ilegal. Kapal-kapal yang ditangkap seringkali disita dan awak kapalnya ditahan. Indonesia telah meningkatkan kehadiran militer dan patroli di perairan Natuna untuk menegaskan kedaulatan dan melindungi sumber daya maritimnya. Penguatan patroli ini melibatkan penggunaan kapal-kapal perang dan pesawat pengintai. Penangkapan ikan ilegal oleh kapal-kapal China mengakibatkan kerugian ekonomi bagi Indonesia, terutama bagi komunitas nelayan lokal yang bergantung pada sumber daya perikanan untuk mata pencaharian mereka. Aktivitas penangkapan ikan yang tidak diatur dapat menyebabkan overfishing dan kerusakan ekosistem laut, yang berdampak negatif pada keberlanjutan sumber daya perikanan di perairan Natuna.

 Laut China Selatan menjadi kawasan strategis bagi Indonesia, namun juga rawan konflik akibat klaim teritorial beberapa negara, termasuk China. Hal ini menimbulkan berbagai ancaman dan dampak bagi Indonesia, seperti pelanggaran kedaulatan wilayah, gangguan ekonomi, dan meningkatnya tensi di kawasan. Menyadari hal tersebut, Indonesia melakukan berbagai upaya untuk menghadapinya, seperti memperkuat pertahanan maritim dengan meningkatkan kekuatan armada dan personel TNI Angkatan Laut, membangun pangkalan militer di pulau-pulau kecil, dan melaksanakan latihan militer bersama. Di bidang diplomasi maritim, Indonesia aktif mengupayakan penyelesaian sengketa secara damai, mempromosikan prinsip hukum internasional, memperkuat kerjasama bilateral dan multilateral, dan meningkatkan partisipasi dalam forum internasional terkait maritim.Indonesia juga mendorong ASEAN untuk mengambil peran aktif dalam menjaga stabilitas kawasan, mendukung upaya ASEAN membangun Code of Conduct (COC), dan berkolaborasi dalam patroli maritim bersama. Selain itu, Indonesia menjalin kerjasama dengan negara-negara lain yang memiliki kepentingan di Laut China Selatan, seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Australia, untuk membangun kerjasama, latihan militer, dan pertukaran informasi maritim.

Upaya-upaya tersebut menunjukkan komitmen Indonesia untuk menjaga kedaulatan wilayah, melindungi kepentingan nasional, dan berkontribusi pada stabilitas kawasan Laut China Selatan. Penting untuk dicatat bahwa upaya-upaya ini harus dilakukan dengan cara yang damai dan sesuai dengan hukum internasional. Indonesia harus terus membangun kerjasama dengan negara-negara lain dan memperkuat diplomasi maritim untuk mencapai solusi yang permanen dan menguntungkan semua pihak.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline