Sudah sebulan ini saya terdampar di rumah karena kaki masih patah akibat peristiwa tajong-lari (tendang lari). Ya, seorang pengendara NMax yang menyerobot jalur, tidak 'terima' ketika ditegur untuk tertib lalu-lintas dan mengantri. Ia malah mengajak duel. Saya tidak layani dan menghindar. Namun ternyata dia mengejar dan menendang motor saya. Saya dan motor terguling, dan terseret beberapa meter hingga akhirnya ligamen di lutut (ACL) putus. Kronologi rincinya ada di link ini [1].
Saya rencananya akan menjalani operasi rekonstruksi ACL (menyambung ligamen lutut yang putus), tapi ternyata ada masalah yang lebih serius. Hasil MRI menunjukkan ada fracture di tibial plateau (tulang kering bagian atas) memanjang dari lutut ke bawah.
Jadi saya harus menunggu fracture tersebut healing dulu, baru bisa dilakukan operasi ACL. Alhamdulillah, kabar baiknya, nyerinya sudah berangsur hilang, jadi saya sudah bisa tidur dengan nyaman. Bahkan sekarang sudah bisa duduk dan menulis, menyelesaikan memoar yang memang jadi salah satu wish list tahun ini.
Saya sempat mem-posting peristiwa tajong lari ini di facebook dan line [2]. Ternyata yang senasib dengan saya cukup banyak. Orang yang ditegur karena tidak tertib berlalu-lintas bukannya malu, malah marah-marah, memaki-maki bahkan ada yang merusak kendaraan yang menegur.
Beberapa ada yang celaka seperti saya, bahkan cacat seumur hidup. Motor-motor yang sudah jelas-jelas melawan arus, ketika hampir tersenggol dan diperingati, malah balik memaki-maki dengan kosa kata binatang dan mengajak berkelahi. Dunia memang sudah terbalik. Sekarang yang benar malah dikejar-kejar yang salah.
Beberapa ada yang bertanya, saya bakal kapok ga untuk menegur orang yang salah? Jawaban saya tidak pernah berubah alias tidak akan pernah kapok! Kalau saya kapok dan berhenti menegur, berarti yang salah menang, dan yang benar terkalahkan. Ini sangat berbahaya. Jika semua orang yang benar berhasil dibungkam oleh orang-orang yang berbuat salah, apa jadinya negeri ini?
Kalau orang-orang yang tidak waras ini, yang dengan seenak perut melanggar peraturan, bebas merajai jalanan, memaki dan menganiaya kita-kita yang waras, yang patuh terhadap peraturan lalu-lintas, maka yang terjadi di negeri ini adalah hukum rimba. Yang paling punya otot, yang paling keras berteriak, akan bebas berkuasa, melanggar apapun yang mereka mau, mengangkangi hukum dengan vulgar.
Anda bisa saja mematahkan kaki saya, tapi tidak akan pernah bisa mematahkan semangat saya untuk berbicara kebenaran.
Hukum rimba di jalanan ini sedikit banyak mewakili potret negara kita saat ini. Dan kevulgarannya semakin menjadi-jadi menjelang pilpres. Orang-orang yang tidak waras sudah makin bebas berseliweran, memutarbalikkan fakta, menyebarkan fitnah dan kabar bohong (hoax), yang salah dibenarkan, yang benar disalahkan, bukan hanya di jalanan, bukan hanya di media sosial, tapi sudah merangsek masuk ke seluruh sendi-sendi kehidupan kita, bahkan ke yang paling dekat dengan kita, keluarga.
Sebelum Pilpres 2014, belum pernah produksi fitnah dan hoax se-dahsyat sekarang.