Oleh: Kyai Noto Sabdo Nderek Sunan Kali
Seri ke-6
Beberapa waktu digunakan jeda. Kyai Noto Sabdo sedang tetirah kepada para leluhur Islam Tradisi di bumi Mataram. Kali ini, Kyai Noto ingin menyapa publik kembali dalam seri tulisan ke-6, di tengah masih bergolaknya Sabdaraja. Beberapa waktu lalu, terjadi pendaulatan dari mereka yang menamakan Paguyuban Trah Ki Ageng Giring-Ki Ageng Pemanahan, yang mengangkat Gusti Bandoro Pangeran Haryo (GBPH) Prabukusumo sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono XI (12/5/2015) di Petilasan Pesanggrahan Ambarketawang, Gamping Sleman. Informasi yang saya peroleh dari seorang pangeran dari salah satu trah Hamengku Buwono (tidak perlu saya sebut HB ke berapa), pendaulatan itu kosong tidak memiliki arah dan dukungan; dan belum berlanjut, hanya main pencitraan.
Pada sisi lain, kubu pro Sabdaraja sendiri mengalami kebuntuan. Hal ini bisa dibaca bukan hanya karena Sabdaraja ini, telah dianggap para pengkritiknya melanggar paugeran, tidak demokratis, dan tidak menjadikan warga Mataram sebagai pusat konsultasi. Lebih dari itu, pengajuan nama perubahan ke pengadilan justru dicabut kembali oleh pemohonnya, sebagaimana diberitakan Antaranews (3/7/2015). Padahal sebelumnya pengajuan perubahan nama itu sudah masuk agenda sidang PN Yogyakarta No. 75/PDTP/2015/PN.YYK. Buntunya lagi, Sabdaraja itu juga akan mempengaruhi pembahasan di DPR soal keistimewaan yang masih menggunakan gelar sultan lama, sebagai syarat pencairan Danais. Akibatnya, sekarang ke dalam kraton memakai gelar baru, dan ke luar masih tetap dengan gelar yang lama: perih menyayat.
Meski begitu kubu pro Sabdaraja, terutama di bawah kendali GKR Hemas yang sangat menginginkan putrinya, GKR Pembayun untuk menggantikan Raja, terus berusaha eksis. Setelah mendapat tausiyah-tausiyah dari JNM (Jamaah Nahdliyin Mataram), yang menginginkan Islam Jawa dikembalikan sebagai fondasi Kraton Mataram Islam, dan belum ada kemauan ke arah itu; juga setelah PWNU DIY membuat surat pernyataan sikap yang menyayangkan Sabdaraja itu, basis dukungan Sabdaraja dikalangan Nahdliyin mengalami kebuntuan. Belum lagi di kalangan rayi-rayi Ndalem dan sebagian di kalangan Muhammadiyah yang tidak setuju Sabdaraja. Memang ada saja, satu atau dua orang yang mengatasnamakan diri dari kalangan Nahdliyin, yang masih coba dikendalikan dan digandeng, untuk mencari dukungan, tetapi itu hanya omong kosong, ilusi: kesalahan fatal.
Upaya eksis dari pendukung Sabdaraja, di antaranya dilakukan oleh lingkaran GKR Hemas, yang terus berupaya mempertemukan GKR Hemas dengan pesantren-pesantren, dengan menggunakan acara dan agenda tentang perempuan, tidak langsung pada soal Sabdaraja. Beberapa kali dicoba, lewat seorang yang bernama Masruchah, tetapi terus mengalami kegagalan. Bahkan taktik dan cara-cara itu, telah menjadikan Masruchah, mengalami kebuntuan tersendiri, karena justru tidak berpijak dari pesantren, NU, dan Nahdliyin. Bayarannya teramat mahal, karena Masruchah, justru berperan sebagai pion yang berpijak bukan untuk kepentingan Nahdliyin, tetapi justru berhadap-hadapan: ngeri. Informan saya di kalangan Nahdliyin, menceritakan, bahkan ketika diundang di PWNU untuk klarifikasi, Masruchah memilih tidak datang: colong playu.