Lihat ke Halaman Asli

Maulana Kurnia Putra

Chief of Representative Daarul Qur'an dan Social Worker

Ruang Publik Kedermawanan Hari Ini

Diperbarui: 10 September 2024   16:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis mengantarkan sembako untuk lansia dhuafa di pelosok Kab. Purworejo/dokpri

Ruang publik kedermawanan masyarakat Indonesia terus menjadi perbincangan antar bangsa setelah publikasi hasil kajian Charity Aid Foundation (CAF) dengan World Giving Index (WGI)-nya pada 2020 lalu. Bangsa Indonesia menempati peringkat satu WGI mengalahkan Selandia Baru yang masyhur sebagai salah satu sistem pendidikan terbaik di dunia yang berada di peringkat empat. 

Agaknya, kedermawanan sebagai salah satu wacana terus menguat di tengah perbincangan sekaligus praktiknya selama lebih dari dua tahun bulan pandemi COVID-19 di Indonesia. Kedermawanan menjadi salah satu kekuatan resiliensi masyarakat Indonesia menghadapi gelombang kasus positif COVID-19.

Kedermawanan masyarakat Indonesia menjadi diskursus dalam ruang publik hari ini: menjadi jalan keluar atau menjadi strategi bertahan bangsa Indonesia menghadapi anomali situasi di berbagai bidang kehidupan. Ruang publik kedermawanan masyarakat Indonesia yang dihadapkan pada situasi pandemi hari ini tidak lepas dari garis historisnya yang mengakar kuat dalam kebudayaan. 

Amelia Fauzia dalam Filantropi Islam: Sejarah dan Kontestasi Masyarakat Sipil dan Negara di Indonesia (2016:69) pun menuliskan tentang praktik filantropi sudah ada sejak masyarakat Hindu di Indonesia pada abad ketigabelas Masehi. Kita harus memahami dua hal bahwa: ruang publik adalah sesuatu yang sangat cair, sedangkan kedermawanan adalah salah satu diskursus historis yang menjadi karakter budaya masyarakat Indonesia yang melampaui agama dan politik.

Ketika kedermawanan sudah menghiasi ruang publik kita hari ini melalui iklan dan konten media sosial, maka sudah sejatinya praktik kedermawanan masyarakat Indonesia tidak pernah berubah dari masa ke masa. Kedermawanan masyarakat Indonesia memang sejak awal berkarakter moncer dan sangat fleksibel tanpa menimbang lagi tolok ukur agama, etnis, dan suku. 

Kepedulian atas rasa penderitaan bersama tidak akan bisa menjadi kedermawanan sosial tanpa kekuatan fleksibilitas kedermawanan itu sendiri. Kedermawanan harus bersifat fleksibel dan tidak terikat identitas. Kemunculan berbagai macam crowdfunding, cross content di banyak platform, serta kekuatan citizen journalism yang mengabarkan kisah-kisah inspiratif sekaligus pilu adalah bukti-bukti bahwa kedermawanan memang sangat fleksibel, cair, dan melampaui identitas sosial agar tidak menemui kebuntuan-kebuntuan dalam penyaluran dan penyampaian amanat.


Dalam bab The Pandemic Within the Pandemic of 2020: A Spiritual Perspective, Tery S. Audate (Carol Tosone (ed.), 2021: 271) menjelaskan bahwa trauma bersama yang dirasakan selama pandemi COVID-19 menyadarkan kita untuk lebih baik peduli dan hidup secara komunal daripada hidup dengan kesendirian di skala kita bertetangga. 

Jika ditarik pada skala yang lebih luas dari bertetangga, ada kisah perjuangan garda terdepan tenaga kesehatan merawati pasien COVID-19, pejuang nafkah yang tak tentu mendapat penghasilan untuk makan sehari-hari, atau bahkan pelaku usaha yang dengan terpaksa merumahkan karyawannya, juga kisah pilu lainnya akan terlihat menjadi sebab bergesernya karakter gerakan kedermawanan masyarakat Indonesia menjadi sangat cair.


Pandemi COVID-19 merubah karakter gerakan kedermawanan menjadi sipil-kolaboratif. Pada tingakatan kelembagaan, kedermawanan sosial pada awal pandemi COVID-19 mengalami konsolidasi sekaligus kolaborasi oleh Forum Zakat (FOZ) di tingkat nasional untuk merespon apa-apa saja risiko sosial, ekonomi, dan kesehatan di berbagai level masyarakat. Respon kolaborasi berbagai lembaga filantropi Islam oleh Forum Zakat pada awal pandemi COVID-19 di Indonesia hingga hari ini yang memassifkan diskursus tentang problem-problem sosial juga ikut menggerakkan masyarakat sipil untuk tetap bergerak secara langsung berkontribusi pada saudara dan tetangga terdekatnya. 

Juga pada aspek yang lebih luas, sosialisasi media yang dilakukan banyak lembaga filantropi Islam menjadi penggerak diskursus serta praktik kedermawanan sosial yang langsung melakukan intervensi di berbagai masalah yang ada. Misal, menurut situs Tempo.co (24/04) pertumbuhan praktik kedermawanan sosial bisa kita baca pada peningkatan donasi melalui kanal-kanal digital di berbagai platform.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline