Lihat ke Halaman Asli

Maulana Kurnia Putra

Chief of Representative Daarul Qur'an dan Social Worker

Menuju Masyarakat Waqif Kolaboratif

Diperbarui: 3 September 2024   14:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

gambar dari durham.ac.uk

Filantropi Islam hari ini menghadapi tantangan pembaharuan sekaligus keberlanjutan. Konteks problem sosial hari ini dan kebutuhan masa depan generasi sudah mulai dapat dirasakan, dimaknai, juga harus segera diikhtiari menuju generasi emas 2045. Filantropi Islam, termasuk di dalamnya wakaf, diarahkan menuju target pembangunan nasional jangka panjang. Gerakan wakaf pun hari ini dirancang untuk berkontribusi besar dalam perubahan-perubahan sosial yang progresif.

Lalu, kenapa wakaf menjadi salah satu instrumen pembangunan sosial menuju 2045? Karena wakaf khususnya dan aktivitas filantropi Islam pada umumnya adalah aktivitas sosial yang berdampak langsung kepada pengentasan kemiskinan, pemberdayaan sosial ekonomi, dan pemenuhan kesejahteraan mustahik atau penduduk di bawah garis kemiskinan yang naik turun sekitar 9,03% dari total penduduk Indonesia. Angka kemiskinan dari Badan Pusat Statistik per Maret 2024 ini belum termasuk angka kemiskinan transien dan kerentanan yang juga masih besar.

Selain angka kemiskinan dan segala resikonya yang masih tinggi, situasi generasi muda hari ini juga harus segera diintervensi dengan pelbagai program pemberdayaan. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pada 2023 terdapat sekitar 9,9 juta penduduk usia muda (15-24 tahun) tanpa kegiatan atau youth not in education, employment, and training (NEET) di Indonesia. 9,9 juta generasi muda Indonesia yang "gabut" ini yang pada 2045 akan mengisi peran-peran strategis di tengah masyarakat Indonesia. Hasil riset Program for International Student Assessment (PISA) 2022 juga menunjukkan angka yang mengkhawatirkan. Remaja Indonesia terus mengalami learning loss sejak tahun 2000. Kita mahfumi bersama, hasil riset PISA memang bertujuan untuk menjadi landasan policy making pendidikan global untuk menyiapkan generasi yang lebih kompeten dan lebih berhasil secara finansial pada masa depan.

Wakaf juga filantropi Islam, yang kita yakini bersama, menjadi kekuatan sosial di tengah situasi generasi yang menantang hari ini memang sudah wayahnya terpanggil untuk "naik kelas", "diperbaharui", bahkan "direvolusikan", seperti yang dituliskan Susan D. Phillips dan Tobias Jung dalam pengantarnya di buku The Routledge Companion to Philanthropy (2016). Bahkan Susan dan Tobias Jung menegaskan konsep "philanthrocapitalism" dengan visi untuk pendekatan yang lebih ilmiah terhadap filantropi yang menekankan inovasi dan berfokus pada transfer dan penerapan strategi bisnis dan market based model. Dari dasar pikiran inilah, wakaf dan filantropi Islam sudah seharusnya disegerakan berprinsip "from impetus to impact", dari yang hanya mendorong/sosialisasi menjadi fokus pada dampak dan perubahan dengan nilai solidaritas sosial. Buku Menuju Masyarakat Komunikatif (F. Budi Hardiman, 1993) juga misalnya mengkritik cara pikir modernitas yang kapitalistik ala Jurgen Habermas. Menurut Habermas, kita dapat belajar banyak mengenai bahaya-bahaya serius yang akan menimpa sebuah masyarakat yang strategi pembangunannya diarahkan semata-mata demi akumulasi modal, birokratisasi, dan teknokratisasi sehingga menyingkirkan solidaritas sosial.

Wakaf, sebuah konsep keagamaan yang mendasar pada pengabdian harta untuk kepentingan umum, memiliki potensi besar untuk mendorong pembangunan generasi muda Indonesia menuju 2045. Dengan mengalokasikan aset wakaf, baik properti dan uang, untuk program-program yang berorientasi pada pemuda dan produktif, kita dapat menciptakan fondasi yang kuat bagi masa depan bangsa dengan basis solidaritas sosial. Tentunya, perubahan cara pikir pemanfaatan aset wakaf harus beranjak dari sekedar pencatatan akumulasi aset menuju program berkontribusi pada isu-isu sentral dan strategis generasi muda hari ini: ekonomi, kewirausahaan, pendidikan dan ketrampilan, dan lingkungan hidup.

Kita Belum Beranjak Sejak Abad 15 Masehi

Secara historis, wakaf telah berperan penting dalam pembangunan pelbagai sektor, mulai dari pendidikan hingga sosial. Masjid-masjid, pesantren, dan lembaga pendidikan lainnya yang didirikan atas dasar wakaf telah melahirkan generasi-generasi pemimpin yang cerdas, berakhlak mulia, dan nasionalisme yang tinggi. Praktik wakaf sudah ditemukan sejak awal masuknya Islam di Indonesia pada abad 15 Masehi di Jawa Timur, abad 12 Masehi di Aceh, dan akhir abad 17 di Madura. Menurut Djatnika dalam buku Wakaf Tanah (1982), pada abad ke-16 M di Jawa Timur, terdapat enam tanah wakaf dengan total 20.615 meter persegi. Pada masa berikutnya, jumlah wakaf bertambah menjadi 7 wakaf dan terus bertambah hingga tahun 1751-1800 menjadi 61 lokasi wakaf. Dalam perkembangan berikutnya di abad 19, tercatat 303 lokasi wakaf tanah milik. Wakaf tanah pada masa awal ke-Islaman di Indonesia biasanya dimanfaatkan untuk aktivitas pesantren dan pendidikan yang menjadi pusat-pusat kekuatan sipil di tengah kolonialisasi.

Namun, dalam konteks kekinian, wakaf perlu diadaptasi agar lebih relevan dengan tantangan dan peluang yang dihadapi generasi muda hari ini dan masa depan. Per 2023, Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama Republik Indonesia mencatat 71,4% dari total lahan wakaf digunakan untuk masjid dan mushola, 14,8% digunakan untuk sekolah dan pondok pesantren, sedangkan untuk program produktif sekitar 9,37%.

Jika membaca pemanfaatan lahan wakaf yang masih didominasi untuk peribadatan, maka sebenarnya pengelolaan wakaf kita belum banyak beranjak sejak awal masuknya Islam. Untuk visi akhirat dan amal kebaikan, ini tidak menjadi persoalan. Namun, alangkah akan lebih berdampak progresif jika lokasi-lokasi masjid dan mushola dari lahan wakaf dapat dioptimalkan dengan baik untuk mengintervensi problem kemiskinan, kesehatan, literasi, vokasi, hingga pemberdayaan pemuda dan mustahik. Beberapa tahun terakhir, gagasan tentang masjid berdaya, misalnya, sudah muncul ke permukaan dan akan terus berkembang dan berdampak maksimal untuk berkontribusi besar pada situasi generasi muda menjelang 2045.

Untuk memosisikan wakaf agar berkontribusi maksimal di tengah situasi hari ini, maka diperlukan rencana besar serta peta jalan menuju 2045 agar intervensi program menjadi efektif di pelbagai bidang kehidupan. Jika 71,4% aset wakaf berupa masjid dan mushola hari ini dapat berkembang aktivitasnya menjadi tempat pelatihan kompetensi, kejuruan, kewirausahaan sosial, layanan kesehatan, dan pengembangan ide inovatif generasi muda, maka 9,9 juta orang generasi muda yang "gabut" di atas dapat mengakses peluang ini dengan sangat mudah.

Selain perubahan dalam pemanfaatannya, pada era digital ini, wakaf juga perlu beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Wakaf digital dapat mempermudah proses donasi dan meningkatkan transparansi pengelolaan wakaf. Platform digital dapat digunakan untuk menghubungkan para nazhir dengan penerima manfaat, serta untuk memantau penggunaan dana wakaf secara real-time dan terintergrasi dengan pelbagai stake holder: Badan Wakaf Indonesia (BWI), Lembaga Nazhir Wakaf, Kementerian Agama, BAPPENAS dan BAPPEDA, serta BPS. Digitalisasi wakaf urgen kita perlukan hari ini, karena pengelolaan aset wakaf di Indonesia tidak hanya berhenti mendigitalkan data lapangan saja, melainkan juga bagaimana big data wakaf dapat dipakai, dioptimalkan, dan dikolaborasikan.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline