Lihat ke Halaman Asli

Isma MaulanaIhsan

Ketua Forum Rebahan Nasional

Dari Ngobaran Tebar Pesan Toleran

Diperbarui: 1 Agustus 2024   12:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana ritual Suroan, Ngobaran, Yogyakarta (dokpri)

Pantai Ngobaran saat itu, menjadi saksi berkumpulnya banyak aliran keagamaan dari Islam, Hindu, Kristen, Budha dan agama-agama lain dalam satu upacara budaya, mensyukuri tahun yang baru, muharam atau suroan.

Dalam kesempatan itu, saya menyaksikan keharmonisan di antara sesama umat Tuhan. Tak dikira segala macam bentuk peribadatan yang dilakukan setiap hari nya, atau nama yang disematkan untuk menyebut Yang Maha Satu.

Acara itu, diselenggarakan oleh penghayat suatu kelompok masyarakat Indonesia yang mempraktikan kepercayaan tradisional dari nenek-moyangnya. Sedangkan, ritual budaya yang dilakukannya adalah suroan sebagai ungkap Syukur kedatangan tahun yang baru.

Bagi kami yang menyaksikan momen ritual ibadah itu, penghayat bukanlah aliran baru keagamaan manusia yang akan mendeskreditkan Tuhan Allah, Tuhan Yesus, Tuhan Budha, Tuhan Hindu atau lain semacamnya, justru mereka mempertegas rasa ketuhanan yang ada dengan mensyukuri segala hal yang telah diciptakannya.

Ketegasan terhadap keberimanan pada Tuhan Yang Mahaesa tak hanya diwujudkan dengan semangat membela Tuhan melalui jalanan saja, melainkan mensyukuri setiap detik yang diberikan pada kita untuk mengabdi, berjalan menuju khittahNya

Pesan kedamaian (as-salam), pesan persatuan dan semangat toleransi itu telah menjelma habits of the heart masyarakat Indonesia. Meski, sebagian pihak lain kerap menganggap bahwa aliran kepercayaan tiadalah sesuai dengan syariat keagamaan yang dianutnya.

Tetapi, hal itu saya rasa pupus utamanya ketika kau menyaksikan bagaimana pesan kedamaian dan semangat keberagaman dalam keberagamaan itu dinampakkan dalam proses upacara suroan. Setiap yang hadir, tak kira agama apapun duduk sama rata, berdiri sama tinggi dan memuja-memuji Tuhan sesuai dengan yang dipercayai.

Tidak ada sekat-sekat distingsi sebagaimana kerap kita temukan dari masyarakat yang terpengaruh digitalisasi, tidak ada ujaran-ujaran kebencian dalam semangat menyembah dan mensyukuri nikmat Tuhan, serta tidak adanya upaya politis-politis berkedok keagamaan.

Kita, barangkali sudah muak dengan bagaimana agama dijadikan alat untuk mencapai tujuan yang bukan bersama; ia menjelma alat politik, alat meraih harta bahkan wanita. Agama telah dikerdilkan oleh mereka-mereka yang menganggap dirinya membela Tuhan.

Namun, seyogyanya Tuhan telah dihancurkan melalui perilaku-perilaku hipokrit penganutnya, yang meniadakan peran serta Tuhan yang maha asyik dan pongah, gagap, gugup, papa dan alpa dalam menjalankan apa yang telah digariskannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline