Lihat ke Halaman Asli

Zakat Pada Harta Investasi (Saham/Obligasi)

Diperbarui: 21 Januari 2016   15:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam (UU No. 23, 2011). Perintah berzakat mulai efektif dijalankan setelah Nabi Muhammad SAW berhijrah dan mendirikan struktur pemerintahan di Madinah. Orang-orang yang masuk Islam diwajibkan membayar zakat. Zakat termasuk ibadah maliyah ijtima’iyah (ibadah yang berkaitan dengan ekonomi keuangan dan kemasyarakatan) dan merupakan salah satu dari lima rukun Islam yang mempunyai stastus dan fungsi yang penting dalam syariat Islam.

Secara garis besar zakat dikategorikan dalam dua jenis, yaitu zakat fitrah dan zakat mal. Zakat fitrah ialah zakat diri yang diwajibkan atas diri setiap individu lelaki dan perempuan muslim yang berkemampuan dengan syarat-syarat yang ditetapkan (Arief Mufraini, 2008). Zakat fitrah biasanya dikeluarkan dalam bentuk beras seberat 2,5 Kg (makanan pokok pada umumnya) pada akhir bulan Ramadhan. Sedangkan zakat mal adalah  adalah zakat yang dikenakan atas harta yang dimiliki oleh individu dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan secara syarak. Dalam pelaksanakan zakat fitrah cenderung tidak terdapat perdebatan ataupun Ijtihad terkait kadar dan nisabnya. Hal ini berbeda dengan zakat mal, dimana jenis harta selalu mengalami perkembangan mengikuti perekonomian yang ada. Pada masa Rasulullah harta kekayaan yang wajib dizakati berupa emas, perak, barang dagangan, binatang ternak, barang tambang dan tumbuh-tubuhan (hasil panen). Zaman modern ini mengenal satu bentuk kekayaan yang diciptakan oleh kemajuan dalam bidang industri dan perdagangan di dunia, yang disebut saham dan obligasi. Menurut Heri Sudarsono dalam bukunya, saham dan obligasi adalah kertas berharga yang berlaku dalam transaksi-transaksi perdagangan khusus yang disebut bursa kertas-kertas berharga (Sudarsono, 2008)

Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai perkembangan bursa saham tertinggi pertumbuhannya setelah krisis keuangan dunia pada tahun 2008. Di tahun 2016 ini, Perdagangan saham Bursa Efek Indonesia (BEI)  telah dibuka langsung oleh Presiden Joko Widodo pada 04 Januari lalu. Menurut Muliaman D Haddad yang menjabat ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sebagaimana yang dikutip dari harian Tribun Finance (05/01) mengatakan bahwa di tahun 2016 ini antusiasme pelaku pasar modal diprediksi akan meningkat dibandingkan tahun 2015. Seiring dengan meningkatnya jumlah investasi di Indonesia maka akan memberikan peningkatan potensi terhadap jumlah zakat. Timbul pertanyaan disini tentang bagaimana menghitung zakat yang dikeluarkan dari investasi saham atau obligasi?

Di dalam kitab Fiqh al-Zakah, karya Yusuf Qardhawi penulis hanya menemukan dua pendapat para ulama’ tentang zakat saham/ obligasi. Pertama, bahwa obligasi berdasarkan jenis perusahaan yang mengeluarkannya, apakah perusahaan itu perusahaan industri, atau perdagangan, atau campuran keduanya. Obligasi hanya bisa dinilai setelah perusahaan yang mencerminkan sebagian kekayaan itu diketahui. Pendapat ini khususnya dikemukakan oleh Shekh Abd al-Rahman Isa. Menurut Shekh Abd al-Rahman Isa bahwa banyak orang yang memiliki obigasi tidak mengetahui bagaimana hukum zakat obligasi-obligasi tersebut. Ada yang mengira bahwa harta obligasi itu tidak wajib zakat, tetapi itu salah. Ada pula yang mengira obligasi tersebut mutlak wajib zakat, tetapi itu juga salah. Yang benar adalah bahwa harus dilihat bentuk obligasi sesuai dengan bentuk perusahaan yang menerbitkannya (Yusuf Qardawi, 2007).

Penjelasan diatas menyimpulkan bahwa kewajiban zakat pada saham/obligasi ditentukan oleh perusahaan apa yang menerbitkannya. Jika termasuk perusahaan industri (tidak melakukan kegiatan dagang) misalnya transportasi (laut, darat dan udara) biro, hotel, pengiklanan, maka obligasinya tidak wajib zakat. Sedangkan jika perusahaan bergerak pada perdagangan yang melakukan jual beli barang tanpa melakukan kegiatan pengolahan, maka obligasi perusahaan tersebut wajib zakat.

Pendapat kedua para ulama yaitu memandang obligasi menjadi satu jenis dan memberinya satu hukum pula tanpa melihat perusahaan apa yang menerbitkannya. Ulama-ulama besar seperti Abu Zahra, Abd al-Rahman Hasan, dan Abd al-Wahab Khalaf berpendapat, bahwa saham dan obligasi adalah kekayaan yang diperjualbelikan, karena pemiliknya memperjualbelikan dengan menjual dan membelinya, karena itu dari pekerjaan tersebut pemilik memperoleh keuntungan persis seperti pedagang dengan barang dagangannya. Berdasarkan pandangan itu, maka obligasi termasuk ke dalam kategori barang dagang, karena itu benar bila termasuk objek zakat seperti kekayaan dagang lain dan dinilai sama dengan barang dagang (Yusuf Qardawi, 2007). Dari kedua pendapat tersebut diatas terlihat perbedaanya yakni dimana pendapat pertama pengeluaran zakat pada obligasi tergantung pada perusahaanya, sedangkan pendapat kedua tidak membedakan jenis perusahaan dalam mengeluarkan zakat obligasi.

Untuk menghitung jumlah zakat yang harus dikeluarkan untuk obligasi, Yazid Afandi dalam seminarnya menerangkan bahwa berdasarkan prinsip percampuran, kekayaan atau nilai obligasi digabungkan dengan kekayaan moneter lainnya pada akhir tahun dan dizakati dengan nishab seharga 85 gram emas murni dengan prosentase 2,5%. Sedangkan saham yang dimiliki bukan untuk investasi dan perdagangan, tapi untuk memproteksinya (saham jangka panjang) sebagian fuqoha berpendapat bahwa yang wajib dizakati adalah keuntungannya dengan prosentase 10%  setiap tahun. Hal ini berdasarkan qiyas atas tanah produktif. Berikut contoh perhitungan zakat saham atau obligasi: Pak Maulana memiliki 750.000 lembar saham PT. Sang Abadi, harga nominal Rp 6.000/lembar. Pada akhir tahun (tutup buku) tiap lembar mendapat deviden Rp 500,00 Total jumlah harta (saham) = 750.000 x Rp 6.500,00 = Rp 4.875.000.000,00. Total jumlah harta (saham) selanjutnya dikurangi kewajiban yang harus ditunaikan dalam satu tahun = Rp 4.875.000.000,00 – Rp. 100.000.000,00 = Rp. 4.775.000.000, maka zakatnya adalah ; Rp. 4.775.000.000 x 2,5% = Rp. 119.375.000, 00.

(*Maulana Fiqi Ilhami, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Tulisan juga dapat diakses di www.kompasiana.com/maulanafiqi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline