Lihat ke Halaman Asli

Nasib Warisan Budaya di Malangrejo

Diperbarui: 12 Januari 2016   14:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Budaya merupakan hasil dari manusia yang wujudnya bermacam-macam. Mulai dari pakaian, musik, bahasa, dan termasuk ide atau gagasan. Hampir setiap generasi selalu menciptakan budaya sendiri-sendiri. Namun, kelestarian budaya nasibnya kadang tidak terjaga seperti halnya di desa Malangrejo, Wedomartani, Ngemplak, Yogyakarta. "Nasib budaya yang menjadi warisan Para Leluhur semakin sulit ditentukan kelanjutannya", tutur Yayuk saat menceritakan keprihatinannya. "Bentuk warisan budaya seperti Sadranan, Kenduri, dan Tahlilan menjadi kurang eksis disini", tambah wanita yang mengaku penduduk asli desa di Malangrejo tersebut.

Tradisi budaya tersebut yang menjadi hasil peninggalan Para Leluhur terus terkikis zaman bukan tanpa sebab. Ada beberapa faktor yang menyebabkannya sehingga mengakibatkan munculnya dua kelompok masyarakat yaitu yang pro dan kontra. Pertama, mereka yang pro merupakan masyarakat asli yang masih melestarikan tradisi itu. "Tradisi Tahlilan memang ada, namun hanya dilakukan oleh Penduduk Asli disini", kata Sutrisno yang mengaku dulunya menjadi penjual mainan anak-anak.

Mereka melakukan warisan turun temurun itu dengan dasar kepercayaannya tanpa dipengaruhi oleh siapapun sehingga sampai sekarang masih bertahan. Kebanyakan mereka adalah penduduk asli Malangrejo seperti yang dikatakan Sutrisno yang pemikirannya cenderung tradisional. Tradisi Kejawen yang merupakan Tradisi Jawa masih sangat kental dan lestari. Kedua, mereka yang kontra terhadap tradisi tersebut yaitu masyarakat modern. Kelompok masyarakat ini beranggapan bahwa tradisi seperti Kenduri jelas tidak masuk akal. Karena tidak mungkin Nabi Muhammad minta 'Asum Dahar' atau minta makanan. "

Masyarakat Modern disini memang beranggapan bahwa tradisi itu kurang masuk akal", terang Sutrisno. "Karena tidak mungkin Nabi Muhammad minta makanan (asum dahar), "tambahnya. Mereka yang menolak tradisi itu kebanyakan masyarakat bukan asli Malangrejo atau para pendatang dari luar desa yang tinggal menetap. Rata-rata dari mereka adalah orang-orang berpendidikan seperti Dosen, Guru, Polisi, dan lain-lain. Dasar pijakan pemikiran mereka pada akal atau rasio sehingga cenderung hidup modern.

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa fakta sosial yang muncul di Desa Malangrejo masing masing memiliki argumentasi sendiri-sendiri sehingga keberadaannya patut dihormati dan tentunya toleransi harus diwujudkan agar tidak terjadi konflik. "Yang penting keduanya bisa hidup bersama dan rukun tanpa adanya konflik", harap Sutrisno. "Tidak ada paksaan dalam menjalani tradisi tersebut yang memang dilakukan atas dasar kepercayaan", tambahnya. Memang betul seperti dalam Ajaran Islam juga menekankan tidak ada paksaan untuk masuk di dalamnya. Karena kebebasan berpikir dan beragama diatur dalam setiap agama dan negara.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline