Lihat ke Halaman Asli

Mbok ku khawatir

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

“Kamu hati-hati ya nduk, Jakarta itu kejam.”

“Iya mbok, aku tahu. Tapi tenang aja, Surti itu kan sudah empat tahun disana. Dan dia baik-baik aja.”

“Tapi perasaan mbok ngga enak nduk. Apalagi sama si Surti itu.”

“Ratri mengerti perasaan mbok, tapi aku tetap harus pergi kesana. Kalau aku tetap disini, kasihan Sari dan Waluyo. Aku ngga mau mereka berhenti sekolah…”

***

“Memangnya Surti janjiin kamu kerja apaan toh nduk?”

“Ya macam-macam. Nanti sampai di Jakarta, katanya aku mau dikenalin sama bosnya ibu Astuti. Terus sama ibu Astuti, aku nanti diajari mengasuh bayi, membersihkan rumah dan menyetrika baju dengan cepat dan rapi. Aku kan biasa ngerjain pekerjaan itu kan mbok? Jadi ngga sulit lah aku adaptasi disana. Terus aku mau diajari bahasa inggris dan arab. Kalo beruntung mau dikirim ke Malaysia atau Saudi mbok.”

“Aduh nduk, mbok kok ya makin khawatir kalo kamu ke luar negri. Takut kayak berita di tv-tv itu loh. Mbok ngga rela anak mbok disakitin orang.”

“Tenang aja ya mbok. Surti kan teman dekat ku waktu SD dulu. Mbok juga kenal baik sama Surti, ya kan?”

“Iya…mbok kenal. Tapi dari dulu mbok kurang suka dengan tingkahnya. Apalagi waktu lulusan SMP dulu. Satu dusun ini pernah rebut malam-malam karena mergokin Surti lagi berduaan dengan pemuda dusun sebelah di joglo pematang sawah. Kamu ingat kan? Waktu itu sudah jam 10 malam. Kamu masih nemenin ngobrol almarhum bapakmu.”

“Iya, mbok. Ratri ingat. Tapi ya sudahlah mbok. Mereka kan ngga terbukti ngelakuin yang aneh-aneh. Toh sekarang juga Sutri dah ngebuktiin kalo ia bisa berubah dan sukses di Jakarta.”

“Ya sudahlah nduk, terserah kamu saja.”

***

“Tri…Ratri! Kamu ngapain ngelamun sendiri malam-malam?”

“Aku kangen mbok dan adik-adikku Sut…”

“Aah kamu itu baru setahun disini aja udah ngga betah. Lihat aku dong, udah lima tahun disini. Masih seger dan semangat!”

“Tapi ini juga lebaran pertama kalinya aku ngga pulang.”

“Ratri…lebaran itu ngga harus mudik. Toh kamu kan masih tetap bisa ngirimin duit tiap bulan buat sekolah adik-adikmu…sopo itu namanya?”

“Sari dan Waluyo.”

“Iya, buat sekolah Sari dan Waluyo. Mbok mu juga kan sekarang ngga perlu ngurusin lagi sawah orang kan? Kasihan, udah tua gitu Tri. Gimana warung kopi mbok mu, lancar?”

“Lancar Sut. Sebelum lebaran mbok ngabarin kalo Sari dan Waluyo rangking di sekolahnya. Sekarang Waluyo lagi persiapan masuk SMP. Warung kopinya mbok juga rame terus tiap sore.”

“Tuh kan apa kataku, kamu itu ngga usah terlalu khawatir. Kayak simbok mu saja.”

“Namanya juga anak Sut, kangen ama ibu dan adik sendiri ya wajar.”

“Dari pada kamu ngelamun, kita senang-senang lagi malam ini yuk. Tuh di meja enam ada dua tamu yang nungguin kita. Masih muda loh, dan ganteng-ganteng.”

Danny Maulana

Jakarta, 25 September 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline