[caption id="attachment_16" align="alignright" width="300" caption="Sunset di Solok Selatan"] [/caption] Sebenarnya, perjalanan ini tidak terpikirkan sebelumnya. Kau tahu, apa yang ada di Kerinci selain gunung berapi yang sedang tertidur panjang dan batuk sepanjang hari? Tapi saya tidak menyangka, perjalanan ini menjadi sebuah petualangan yang menyenangkan. Saya dan Elias Widhi (cameraman) ditugaskan kantor untuk membuat film dokumenter tentang Kerinci. menceritakan kehidupan masyarakat dan bagaimana mereka bersahabat dengan alam. Jujur saja, awalnya saya tidak tertarik. karena pada waktu itu saya sedang berkonsentrasi membuat film dokumenter yang lebih menantang dari sekedar mengunjungi sebuah kebun kayu manis yang banyak tumbuh di sepanjang bukit barisan. [caption id="attachment_126" align="alignleft" width="199" caption="Gunung Kerinci"] [/caption] Kami terbang ke Padang, Sumatra barat 19 maret 2009. Harus menggunakan penerbangan pagi karena kami akan menempuh delapan jam perjalanan dari Padang menuju kota Sungai Penuh, Kabupaten Kerinci. Setelah menemui driver yang menjemput kami sekitar pukul 10 pagi. Dimulailah perjalanan panjang ini. Dari kota Padang, kami terus menuju selatan melalui jalur lintas Sumatra yang sempit, berkelok-kelok mengintari bukit, penuh tanjakan dan turunan curam yang padat hingga akhirnya menemui jalan yang lebih lebar dan sepi di sepanjang daerah Baso, daerah Solok hingga akhirnya tiba di kota Sungai Penuh pukul delapan malam. Kami telat dua jam karena harus menemui fixer yang akan membantu untuk menghubungi suku kubu yang terkenal suka berpindah-pindah tempat tinggal, dan mampir di beberapa tempat untuk beristirahat dan mengambil foto dengan latar belakang gunung Kerinci. Gunung berapi aktif tertinggi di pulau Sumatra. [caption id="attachment_27" align="alignright" width="300" caption="Sungai Penuh"] [/caption] Kami menginap di hotel dengan harga kamar Rp. 250.000 per malam (saya lupa nama hotelnya). Itu hotel terbaik di kota ini, dan jujur saja fasilitasnya tidak sesuai harganya. Kamarnya berukuran 4x5 meter dan di cat berwarna hijau. Ada dua ranjang lebar dari kayu yang kasurnya cukup keras, tv 14 inch dengan siaran yang tak lengkap dan hanya ada kipas angin untuk mendinginkan suhu ruangan. Kau tahu, semua keluhan fasilitas hotel ini hilang begitu kami tertidur lelap hingga besok pagi. Cassiavera [caption id="attachment_25" align="alignleft" width="199" caption="Cassiavera"] [/caption] Perjalanan jauh menjanjikan petualangan seru. Begitulah seharusnya, ya kan? Dan di hari pertama di Sungai Penuh ini, saya menikmati keindahan kota kecil yang dikelilingi bukit-bukit indah di kejauhan. Hari pertama ini kami akan membuat film tentang satu keluarga yang memanfaatkan sepetak lahan di bukit barisan untuk berkebun dan mengambil mengupas kulit cassiavera untuk bumbu dan menebang batangnya untuk dijadikan kayu bakar. Perkenalkan, pak Ali. Kepala keluarga dari suku kerinci yang tinggal di rumah kayu bertingkat dua di pinggir jalan menuju kota Sungai Penuh. Seperti masyarakat Indonesia pada umumnya, pak Ali dan keluarganya menyambut ramah kami. Setelah mengobrol tentang apa saja, ia mengajak kami ke kebunnya. Dan itu berarti mendaki bukit satu jam lamanya menyeberang sungai kecil melalui jembatan dari tumpukan bambu yang ringkih. [caption id="attachment_28" align="alignright" width="300" caption="Istirahat sejenak"] [/caption] No pain no gain. Sampai di kebunnya, setelah menempuh satu jam pendakian berat melewati jalur yang terjal terbayar dengan pemandangan bukit barisan yang sungguh luar biasa. Tak ada satu jengkal pun tanah di bukit barisan di depan saya yang tidak dipenuhi pohon cassiavera. Warna hijau kemerah-merahan begitu mengagumkan. Karakter daun pohon cassiavera seperti di pepohonan di dataran tinggi Eropa. Ketika batangnya masih muda daun-daun di pucuk pohonnya berwarna merah menyala hingga akhirnya berwarna hijau ketika umur pohonnya bertambah tua. [caption id="attachment_29" align="alignleft" width="300" caption="Gubuk Pak Ali"] [/caption] Kami membuat film kurang lebih empat jam lamanya. Pak Ali menunjukan cara mengupas kulit pohon cassiavera untuk di keringkan hingga menjadi kayu manis. Dengan tiga orang rekannya yang ikut bersama kami, ia menebang beberapa pohon yang telah cukup umur untuk di jadikan kayu bakar. Menurutnya, kayu cassiavera ini bagus karena mudah terbakar dan tidak lembab. [caption id="attachment_30" align="alignright" width="300" caption="Pak Ali dan teman-teman"] [/caption] Untuk turun kembali dari bukit bahkan lebih sulit dari saat mendakinya. Kali ini kami membawa enam batang pohon cassiavera sepanjang empat hingga lima meter. Tanpa tali pengaman atau apapun untuk keselamatan, kayu demi kayu di luncurkan ke bawah melalui jalur terjal yang tadi kami lalui saat mendaki. Kau bisa membayangkan kayu seberat lebih dari delapan puluh kilogram meluncur bebas ke bawah menuju langsung orang yang menjaganya agar tidak masuk ke sungai. [caption id="attachment_33" align="alignleft" width="300" caption="Kebun pak Ali"] [/caption] [caption id="attachment_31" align="alignright" width="300" caption="Pemandangan Bukit Barisan"] [/caption] Sungguh sebuah perjuangan yang hebat demi sepeser rupiah. Bagi ku, hasil yang mereka dapatkan dari menjual kulit kayu manis dan potongan kayu bakar dari pohon cassiavera tidak sebanding dengan resiko yang mereka hadapi untuk mendapatkannya. Tapi keceriaan di wajah-wajah orang-orang tangguh ini tak pernah tampak padam. Kehidupan di bawah rimbun hutan hujan tropis. Sejak saya masih kuliah, kabar tentang keberadaan suku nomaden di pulau Sumatra pernah saya baca di suatu artikel di Koran harian. Konon, mereka hidup berpindah-pindah karena tidak terbiasa bertani atau beternak untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka terbiasa berburu hewan hutan apa saja yang ditemui untuk makan malam. Fixer yang saya temui adalah seorang polisi di kabupaten Solok, dua jam perjalanan kembali dari kota Sungai Penuh. Dia seorang komandan satuan yang lagi ditugaskan disana. Dua tahun lalu, dia pernah hidup selama enam bulan di dalam hutan dan hidup berpindah-pindah untuk mempelajari budaya suku Kubu. Bahkan, ia diangkat menjadi kepala kelompok suatu suku kubu hingga kini. Kami menemuinya hari ini untuk meminta nomer telepon pak Amir, seorang kepala keluarga suku Kubu dan memintanya untuk menghubunginya terlebih dahulu sebelum kami menemui mereka langsung. Sungguh sulit untuk menghubungi pak Amir. Selain karena ia tinggal di tengah hutan yang sangat susah sinyal, ia tidak terbiasa berbicara bahasa Indonesia. Dan diantara kami bertiga (saya, Widhi, dan driver) tidak ada yang bisa bahasa setempat. Berbekal informasi dari fixer, kami menuju daerah Dharmasraya, perbatasan antara Sumatra Barat dengan Pekanbaru. Berkali-kali saya terus mencoba menghubunginya dan mencoba mencari langsung lokasi perkemahan mereka berbekal informasi yang sedikit. Hasilnya nihil. [caption id="attachment_32" align="alignleft" width="300" caption="Saya berfoto dengan keluarga Suku Kubu"] [/caption] Membuat frustasi mengingat hari mulai sore dan kami masih belum bisa menghubungi pak Amir. Saat beristirahat sejenak di pinggir jalan raya dengan rasa kesal yang membakar kepala, akhirnya saya berhasil menghubungi pak Amir. Dengan komunikasi dua arah yang tersendat bahasa. Kami menemuinya di pinggir jalan tak jauh dari tempat kami istirahat. Rupanya ia telah dua jam menunggu kami disana dan bahkan kami sempat melewati mereka! Sampai di camp, tempat tinggal mereka sungguh memperihatinkan dari pandangan orang kota seperti saya. Ada tiga kemah disitu. Masing-masing berupa batang-batang kayu kecil yang disusun seperti lantai sebesar kasur king size. Dan di keempat sisinya ada tiang dari kayu yang mungkin untuk atap kalau hujan turun. Namun hari itu tidak hujan dan tidak ada apapun yang menutupi masing-masing camp tersebut. Di satu kelompok keluarga suku Kubu ini ada empat orang dewasa termasuk pak Amir, istri pak Amir dan dua orang wanita dewasa lainnya dan beberapa anak kecil. Mereka berpakaian ala kadarnya. Pria hanya menggunakan kain sarung yang dililit disekitar selangkangan mereka. Dan wanitanya ada yang hanya mengenakan bra dan baju seadanya. Kami membawa satu dus mie instan dan dua pak rokok lokal yang mau dipercaya atau tidak, setengahnya langsung habis. Saya akhirnya mengerti kenapa mereka selalu hidup nomaden. Teman saya langsung menyiapkan kamera untuk mengambil gambar kegiatan mereka saat itu. cukup menarik memang, karena meskipun hidup berpindah-pindah, mereka punya dua sepeda motor dan handphone untuk berkomunikasi pemberian fixer yang saya temui sebelumnya. Selesai makan siang, pak Amir dan tiga orang pria lainnya menunjukkan kepada saya berburu makan malam yang sebenarnya. Agar berbaur, saya dan Widhi melepas baju dan sepatu dan hanya menggunakan celana pendek. Sungguh petualangan yang menantang! Kami masuk makin jauh ke dalam hutan menuju sungai kecil untuk mencari labi-labi (sejenis kura-kura air tawar yang berpunggung lunak). Kau tahu, untuk mendapatkannya tidak semudah menemukan kucing di perumahan. Telapak kaki saya sampai terluka menginjak batang-batang pohon kecil dan batu-batu tajam di sepanjang sungai kecil. belum lagi resiko bertemu ular! Layaknya perburuan dimanapun, hari ini kami tidak menemukan seekor pun labi-labi. Hari sudah pukul lima sore dan kami harus kembali ke camp sebelum gelap. Karena deadline kami tidak bisa melanjutkan pembuatan film lebih lama lagi, apalagi hanya untuk seekor labi-labi. Saya, Widhi dan driver berpamitan kepada pak Amir dan keluarganya. Sekaligus mengakhiri petualangan seru yang kami lalui selama satu minggu ini. Sekarang pukul enam sore. Masih harus menempuh 10 jam perjalanan lagi untuk kembali ke kota Padang, Sumatra Barat. Sedang mata kami sudah tak kuat menahan kantuk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H