Lihat ke Halaman Asli

Mungkinkah Pemilihan Gubernur Jakarta Perlambat Proyek PLN 35.000 MW?

Diperbarui: 26 September 2016   09:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

 Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi DKI Jakarta sudah mengumumkan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI yang akan mulai bersaing saat ini. Pasangan Ahok-Djarot menjadi salah satu yang pertama mendaftar – siang tadi sudah melaju ke kantor Komisi Pemilihan Umum DKI dengan menggunakan bus. Pasangan ini di dukung empat warna – merahnya PDI-P, jingga dari Hanura, kuningnya Golkar, dan biru dongkernya Nasdem. Empat partai dengan kepentingannya masing-masing mengantar Ahok kembali ke kursi gubernur.

Jakarta dalam beberapa tahun ini banyak mengalami perubahan. Mulai dari Jembatan Semanggi yang sudah berubah rupa sampai pinggiran Pantai Utara Jakarta yang sekarang perlahan mulai meluas karena adanya reklamasi. Reklamasi dan Ahok ibarat kejar-kejaran yang tak kunjung berakhir. Dimulai dari naik turunnya dukungan reklamasi, kasus korupsi Sanusi, pemberhentian proyek dari Rizal Ramli hingga akhirnya sekarang Menko Luhut Panjaitan kembali menyetujui kelanjutan reklamasi.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa proyek-proyek di Indonesia banyak yang berangsur-angsur, mengikuti arah angin kekuatan politik. Disinilah bahayanya saat proyek-proyek kepentingan nasional pun kadang turut mengikuti ketidak stabilan iklim politik di Indonesia.

Proyek nasional yang saya pikir sangat krusial untuk dituntaskan dengan seksama adalah proyek besar 35.000 MW yang ditargetkan oleh Jokowi dan dipercayakan untuk dilaksanakan PLN. Proyek ini tetapi sedang dalam ujian besar. Proyek elektrifikasi Indonesia untuk mencapai 100% baru saja mencapai 0.6%. Artinya PLN masih harus mengejar 99.4% dalam kurun waktu 3 tahun. Apa yang dibutuhkan agar proyek ini berjalan lancar? Seluruh lapisan masyarakat, dari warga hingga petinggi dan pengambil keputusan harus bekerja dan memiliki satu visi yang sama. Visi yang sama, siapapun yang berkuasa atau siapapun yang memiliki kekuatan politik, melepas kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan pembangunan nasional.

Salah satu pembangunan penunjang proyek besar ini adalah pembangunan PLTGU Jawa 1 yang rencananya akan dibangun di daratan Cilamaya atau di atas lahan reklamasi di Muara Tawar – tergantung perusahaan mana yang memenangkan tender proyek. Mengapa pembangunan PLTGU bisa beresiko terhalang karena kepentingan politik? Apabila PLTGU dibangun di atas lahan reklamasi, ini akan menuai diskusi yang begitu panjang.

Contoh paling jelas terdapat di reklamasi Pantai Utara Jakarta, yang sampai sekarang masih banyak menerima pro dan kontra. Makin lama diskusi yang tidak kenal tuntasnya, makin lama proyek PLN akan berjalan. Kalau kedudukan gubernur berubah lagi, sangat memungkinkan proyek PLN juga akan terhambat kembali apabila memang dilakukan diatas lahan reklamasi.

Memang terkesan jauh berfikir bahwa iklim politik akan mempengaruhi proyek yang dijalankan secara professional oleh pihak PLN dan peserta-peserta tendernya. Tetapi ada baiknya untuk menghindari potensi masalah dan mengeksekusi proyeknya dengan cara yang paling objektif, untuk kebaikan Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline