Saya membelah Jakarta ke arah utara, menuju arah museum Fatahilah di kota tua, Jakarta Pusat. Tidak jauh setelah saya lewati gedung-gedung tua masa kolonial belanda berjejer kokoh, harum pasir pantai – agak amis ikan, sangat sulit dijelaskan – sudah melambai tajam, menandakan bahwa saya sudah berada di ujung Jakarta. Hari itu, Jumat, 15 April 2015, saya menyempatkan untuk mengunjungi saudara-saudara kita di Pasar Ikan, Luar Batang, yang baru saja terkena ‘musibah’.
Sejak awal saya tidak ingin menyangkut pautkan dengan istilah-istilah kalut, seperti politik, kebijakan pemerintah, reklamasi, dan hal lainya yang buat orang kita mengerutkan dahi. Hal konkret adalah ratusan keluarga sudah kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian. Itu pasti.
Ketika masuk dari samping Museum Bahari, sudah berjejer belasan excavator dengan gagah meratakan gubuk-gubuk di sekitar pasar ikan. Orang-orang ada yang menonton – atau sengaja hanya menonton dengan membeli gorengan yang dijual di sekitar lokasi penggusuran – dan ada juga yang mengais sisa-sisa bangunan.
Pak Anjum. Pasrah
Seorang pria tua duduk di gerobak miliknya. Menatap kosong ke arah alat berat yang bekerja. Sesekali Ia menarik nafas, serta mengusap kepalanya. Pak Anjum namanya. Pria asal Sukabumi itu baru saja mengungsikan anak-istrinya ke rumah kerabat, lalu kembali ke lokasi penggusuran tanpa tujuan. Setelah penggusuran di Luar Batang, Jakarta Utara, banyak warga yang menyesalkan penggusuran yang begitu cepat. “Padahal anak saya lagi ujian. SP (surat peringatan) ke satu, dua, dan tiga pun jaraknya cepat,” ujarnya lirih.
Bapak-bapak, tetangganya, berlalu-lalang membawa besi dan bongkahan sisa penggusuran untuk dijual kembali, tapi tidak dengan Pak Anjum. “Harganya gak seberapa, saya gak sampai hati lihatnya. Bingung. Kesinipun saya bingung mau ngapain. Cuma lihat ini (Pasar Ikan) rata jadinya.”
[caption caption="Pak Anjum sedang menceritakan kisah hidupnya | Sumber : Domentasi Pribadi"][/caption]Anaknya dengan terpaksa tidak sekolah dulu beberpaa hari kedepan. Entah kapan, mungkin setelah kembali normal. Pak Anjum sebenernya berkeinginan penggusuran dilakukan setelah lebaran. Namun sekarang harus memutar otak untuk kembali mengais rejeki. Terlebih beberapa pekan kedepan Ramadhan akan tiba. “Mau kerja apa saya, bentar lagi puasa,” lanjutnya menambahkan.
Bantu : tidak lupa bawa bendera masing-masing
Tidak jauh dari Masjid Jami Keramat, salah sau tempat ibadah tertua di Jakarta, berjejer mobil bagus dengan stiker-stiker – maaf harus saya sensor. Diantara puing dan jembatan pinggir kali terdapat beberapa bendera organisasi tertentu. Dengan seragam mereka membagi-bagi nasi bungkus pada korban penggusuran, tidak lupa dengan jepretan kamera.
Rakyat sih senang. Wong mereka lapar, yang penting kenyang. Terdapat beberapa spanduk yang yang sedikit membakar semangat. Desainya bagus, profesional dengan gambar vektor yang kontras. kualitas printing-nya pun bagus. Rasanya, agak sulit mempercayai bahwa campaign ini dibuat oleh mereka. Lalu, siapa yang bawa?
[caption caption="Siapa yang bawa? | Sumber : Domentasi Pribadi"]
[/caption]Bendera-bendera selalu dibawa oleh mereka yang berkeptingan. Rakyat yang hakekatnya objek tersakiti hanya menjadi boneka untuk upaya-upaya tertentu. Namun tanpa dipungkiri, dengan tidak maksud meng-underestimete ormas-ormas secera umum, banyak pula kok mereka, organias-organisasi, yang dengan tulus sigap dan tanggap membantu rakyat siang dan malam dengan alat alakadarnya. Salut dan respect untuk rekan-rekan yang demikian.