Usia anak-anak adalah masa-masa yang begitu menyenangkan, masa-masa bermain yang sudah selayaknya dirasakan setiap anak, karena hal itu akan menjadi pengalaman dalam perkembangan pertumbuhannya, bermain juga dapat menjadi wahana edukasi, mengajarkan kemandirian dan kreatifitas.
Meskipun di era modern seperti sekarang, model serta jenis permainan sudah sangat jauh berbeda, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi juga turut mempengaruhi permainan-permainan yang digandrungi anak-anak sekarang, jenis permainan tradisional sudah tidak dikenal bahkan tidak diminati. Jika sekarang anak-anak lebih gandrung dengan jenis permainan gadget, smart phone, play station dan lainnya. Maka mari kita mengenang zaman dahulu ketika anak-anak di pedesaan. Di Hulu Sungai Selatan, anak-anak era 70-an hingga 80-an lebih akrab dengan pemanfaatan alam untuk tempat bermain.
Jenis permainan seperti petak umpet, berkelereng, bermain lumpur di persawahan, mandi disungai dengan main petak umpet, hingga bermain tali adalah hiburan yang sangat menyenangkan, tak ayal hal tersebut menjadi kenangan yang tak terlupakan hingga dewasa.
Dahulu, jika ingin bermain masuk ke dalam hutan ada beberapa pesan-pesan dari orang tua yang harus ditaati dan diingat, sebelum pergi untuk bermain petak umpet. Karena hutan bagi masyarakat Banjar (pahuluan) adalah suatu tempat yang dianggap menyimpan kemistisan, sangat dipercaya sebagai tempat yang banyak dihuni oleh (urang halus) makhluk gaib, maka setiap akan masuk kedalamnya harus mematuhi beberapa ujaran orang tua. Dipercaya jika ujaran tersebut dilakukan maka tidak akan tersesat ketika mencari jalan pulang dan tidak bakal "kapuhunan" atau sakit karena diganggu mahkluk gaib penghuni hutan.
Membalik baju ketika masuk hutan
Hal ini sering diujarkan orang tua, jika hendak menuju hutan maka dikatakan "balik baju", jika kebiasaan baju dipakai sewajarnya, maka jika kedalam hutan maka baju bagian dalam dipakai keluar, dan bagian luar dipakai kedalam, perilaku ini dahulu dikatakan serta dipercaya mampu menangkal gangguan makhluk gaib, agar tidak disesatkan atau tidak bisa keluar hutan karena bingung jalan keluar.
Dahulu sering terjadi anak-anak yang "disimpani" atau disesatkan makhluk gaib, ketika bermain kedalam hutan. Bahkan ada yang sampai sehari semalam tidak dapat keluar, sampai-sampai orang tuanya dan penduduk kampung tidak bisa menemukannya ketika mencari kedalam hutan. Barulah pada keesokan harinya dapat ditemukan, ketika ditemukan anaknya dalam keadaan lemas dan bergulir. Ketika ditanya pada waktu sudah sadar, hampir jawabannya sama, (dibawain) diajak kawan baru ketemu yang juga anak-anak, terus diajak bermain kerumahnya dan diberi makan. Padahal di dunia nyata sudah seharian semalam belum pulang.
Memberi salam kepada "Datu"sebelum masuk hutan
Datu bagi sebagian orang pahuluan diimajinasikan seperti makhluk gaib, kata datu sudah menjadi kata yang familiar. Meskipun datu disebagian tempat di Banjar juga merujuk kepada orang yang memiliki kemuliaan, karomah (keramat), dan orang yang berilmu pengetahuan agama yang tinggi ('alim). Maka ketika berkunjung ke Kalimantan Selatan akan banyak kita dapati makam-makam datu. Akan tetapi entah kenapa penggunaan kata Datu juga digunakan untuk penggunaan pahaman mahkluk gaib.
Ada ujaran orang dahulu jika akan masuk ke dalam hutan maka harus berkata "Datu-datu jangan dirawa, anak cucu disini jua" yang maknanya dalam Bahasa Indonesia " Datu jangan diganggu, karena orang kampung sini juga". Kata-kata itu dipercaya agar penghuni hutan mengetahui dan tidak mengganggu ketika masuk kedalam hutan. Bahkan jika ingin buang air kecil dihutan, maka memberi tahu dengan ucapan tersebut, agar makhluk gaib yang tidak terlihat tidak terkena kencing. Begitulah beberapa prilaku yang pernah ada sebagai pengingat dan mempercayai bahwa disetiap tempat ada makhluk gaib yang menempati selain manusia. Meskipun perilaku ini hanyalah ujaran bukan anjuran dari agama, sebagai bagian dari kekayaan budaya setempat. (Aha).