Kayanya keberagaman bangsa Indonesia dapat dilihat dari banyaknya suku bangsa dan kebudayaan yang tersebar dari sabang hingga merauke dengan ciri khas masing-masing. Tak dapat dipungkiri bahwa, selain kaya akan sumber daya alam Indonesia juga kaya akan keberagaman budaya yang tersebar begitu banyak di masyarakat mulai dari adat istiadat, kesenian, tradisi, pakaian adat, dan masih banyak lagi. Untuk mempersatukan bangsa Indonesia atas keberagaman tersebut semboyan Bhineka Tunggal Ika digunakan untuk mengikat perbedaan-perbedaan menjadi satu Indonesia. Seiring dengan berjalannya waktu, semangat nasionalisme dari masyarakat semakin tampak dan nilai-nilai dalam kebudayaan tersebut dapat tertanam dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat menjadikan budaya Indonesia bisa dengan mudah dikenal oleh masyarakat global.Dalam masyarakat Jawa khususnya Jawa Tengah, budaya Unggah-ungguh sudah ada sejak dahulu kala yang merupakan wujud sopan santun terhadap orang lain yang lebih tua. Unggah-ungguh secara etimologi merupakan penggabungan dari kata unggah dan ungguh. Unggah dalam bahasa Jawa berarti naik yang bermakna sebagai penghormatan kepada orang yang lebih tua, sedangkan ungguh berasal dari kata lungguh artinya duduk atau menempati. Makna unggah-ungguh sendiri dalam bahasa Jawa diartikan sebagai kaidah dalam bertutur kata dan tingkah laku masyarakat Jawa dengan memperhatikan lawan bicara dan situasi yang bertujuan untuk saling menghormati dan menghargai orang lain sehingga tercipta kesopansantunan. Unggah-ungguh juga bisa diartikan sebagai tata krama dan etika untuk menjaga kesopansantunan terhadap orang lain.
Pentingnya unggah-ungguh berbahasa dalam kehidupan berguna untuk mengatur tingkah laku masyarakat yang sesuai dengan budaya Jawa agar terciptanya kehidupan yang harmonis. Dalam bertutur kata atau berbicara dengan orang lain, masyarakat Jawa menggunakan bahasa Jawa yang berbeda menyesuaikan siapa lawan bicara dan situasi. Bahasa Jawa yang digunakan yaitu Bahasa Ngoko dan Bahasa Krama. Bahasa Jawa ngoko biasanya digunakan untuk berbicara kepada teman akrab atau seseorang yang berumur di bawah penutur dan bisa digunakan untuk status sosial yang lebih rendah, misal guru kepada murid serta orang tua kepada anak. Penggunaan bahasa Jawa ngoko ini ditujukan bagi seseorang yang sudah mempunyai keakraban satu sama lain. Sedangkan bahasa Jawa krama digunakan untuk berbicara kepada orang yang lebih tua seperti kedua orang tua, kakek nenek, serta orang lain yang lebih tua. Bahasa Jawa krama ini sejatinya dibagi beberapa tingkatan lagi seperti krama inggil dan krama lugu. Krama inggil atau halus merupakan bahasa krama dengan posisi tertinggi digunakan untuk berbicara kepada orang tua atau orang yang tua guna menunjukan rasa hormat dan sopan satun tertinggi. Sedangkan krama lugu merupakan bahasa krama yang kedudukannya di bawah krama inggil digunakan untuk berbicara kepada seseorang yang usianya lebih tua untuk menunjukan rasa hormat seperti seorang murid kepada guru, karyawan kepada pemimpinnya, dll.
Pentingnya kesopanan dalam berbahasa harus ditanamkan sejak dini agar senantiasa dapat terjaga dan terpelihara. Namun seiring perkembangan zaman dan masuknya arus globalisasi, para generasi muda sudah melupakan unggah-ungguh berbahasa dan enggan untuk mempelajarinya lebih dalam serta enggan menerapkan dalam kehidupan di masyarakat. Sangat sering menjumpai anak muda berbicara kepada orang tua menggunakan bahasa Ngoko yang sebenarnya merupakan kesalahan dan mereka menganggap hal itu biasa karena sudah akrab satu sama lain. Kesalahan berbahasa tersebut membuat anggapan bahwa tata krama pada anak muda sudah mulai hilang seiring perkembangan zaman. Fenomena ini sangat banyak dijumpai di masyarakat Jawa karena terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi hilangnya unggah-ungguh berbahasa pada generasi muda. Beberapa faktor tersebut seperti :
- Pergaulan yang tidak baik
- Tidak adanya kesadaran pada diri anak muda itu sendiri
- Faktor lingkungan yang tidak mendukung
- Kurangnya edukasi dari orang tua
- Perkembangan arus globalisasi
Faktor-faktor tersebut yang menyebabkan hilangnya tata krama berbahasa oleh generasi muda di masyarakat. Faktor lingkungan berpengaruh besar terhadap perkembangan generasi muda dalam membentuk tata krama terhadap orang tua. Peran orang tua dalam mendidik anak untuk berbahasa merupakan langkah awal yang harus ditanamkan pada seorang anak karena keluarga adalah pendidikan awal yang didapat oleh seorang anak. Perkembangan arus globalisasi juga mempengaruhi keberadaan unggah-ungguh berbahasa oleh anak muda karena kebanyakan dari mereka lebih mudah menerima budaya asing yang masuk dan meninggalkan warisan nenek moyang yang seharusnya mereka jaga dan lestarikan. Kini orang tua lebih memilih mengajarkan anak untuk berbahasa Indonesia karena dianggap lebih mudah untuk dipelajari dibanding dengan bahasa Jawa yang begitu rumit dan banyak tingkatannya. Seharusnya anak diajarkan untuk berbahasa Jawa terlebih dahulu karena mereka hidup di lingkungan masyarakat Jawa yang mengenal adanya unggah-ungguh berbahasa. Diharapkan para generasi muda lebih aktif dalam berbahasa Jawa krama kepada orang tua karena berguna untuk menunjukan rasa kesopansantunan dan menghormati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H