Baru-baru ini ada pernyataan dari salah satu direktur lembaga survei yang mengatakan bahwa jika hasil rekapitulasi suara KPU berbeda dengan hasil quick count, maka telah terjadi kecurangan. Sebagai seorang statistisi yang bernaung di bawah Badan Pusat Statistik dan saya jamin netral, terpanggil untuk mengklarifikasi pernyataan direktur lembaga survei tersebut.
Berbicara data hasil pilpres mana yang lebih akurat antara quick count dan real count, maka kita harus mengetahui filosofi asal data dari kedua metode tersebut. Pertama kita bahas dulu quick count. Dalam ilmu statistik, metode quick count yang mengambil sebagian data dari populasi untuk menyimpulkan data populasi disebut survei. Perlu diketahui bersama bahwa inti dari survei adalah ukuran sampel dan teknik pengambilan sampel. Sehingga yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah jumlah TPS yang diambil oleh lembaga survei sudah memenuhi syarat? Apakah TPS yang menjadi sampel quick count sudah tersebar secara proporsional keseluruh wilayah Indonesia? Untuk persebaran TPS sampel kita serahkan lembaga survei untuk menjawabnya. Namun untuk ukuran sampel, saya bisa memberikan hitungan ukuran sampel dengan metode slovin sebagai berikut:
Dengan jumlah TPS seluruh Indonesia sebanyak 478.685 dan margin error yang sering didengungkan lembaga survei sebesar 1 persen maka jumlah sampel TPS seharusnya adalah
Ukuran sampel = 478.685 dibagi (1+ (0.012)x478.685 = 9795,37 TPS (metode slovin)
Dengan demikian, seharusnya lembaga survei mendata tidak hanya 2000 TPS, tetapi mendata 9795 TPS untuk mendapatkan angka populasi dengan tingkat margin error 1 persen dalam melaksanakan quick count. Kemudian perlu diketahui bersama bahwa survei memiliki tingkat kesalahan. Namun kesalahan tidak hanya berdasarkan margin error saja yang sering dikemukakan lembaga survei, namun tingkat kesalahan survei terdiri dari sampling error dan non sampling error. Sampling error berkaitan dengan tingkat kesalahan dalam pengambilan sampel sedangkan non sampling error lebih condong kepada kesalahan manusia dalam menginput data. Sehingga dengan kondisi hasil quick count yang hanya selisih maksimal 5 persen, menurut logika statistik masih memungkinkan hasil real count berbeda dengan hasil quick count.
Untuk pembahasan real count sebetulnya singkat saja, real count atau sensus dalam istilah statistik adalah data sesungguhnya. Sehingga apabila ada dua buah data dengan sumber sensus dan survei, maka jelas yang dipakai adalah data hasil sensus. Alasannya jelas, data hasil survey memiliki tingkat kesalahan sampling error dan non sampling error sedangkan data hasil sensus tetap memiliki tingkat kesalahan namun hanya bersumber dari non sampling error.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H