Di era digital ini, media sosial bagaikan jendela dunia yang tak hanya menyajikan informasi, tapi juga tren dan gaya hidup. Salah satu tren yang marak di Indonesia adalah olahraga lari.
Video-video estetik di TikTok, tips-tips dari para konten kreator seperti Rolan Sihombing dan konten kreator lainnya membuat banyak warga Indonesia yang ikut berolahraga karena terlihat keren.
Namun, di balik semangat berolahraga yang positif, muncul fenomena yang cukup memprihatinkan, yaitu joki Strava. Bagi yang belum familiar, joki Strava adalah jasa yang menawarkan pemalsuan data latihan lari di aplikasi Strava. Pengguna cukup membayar, dan joki akan "berlari" atas nama mereka, menghasilkan data palsu yang kemudian dipamerkan di media sosial.
Motivasi di balik tren ini beragam. Ada yang ingin tampil eksis, menunjukkan pencapaian luar biasa, atau mendapatkan pengakuan sosial. Namun, di balik kesombongan virtual ini, terdapat dampak negatifnya, yaitu:
- Menurunkan nilai otentik dari olahraga
- Memicu budaya menyontek dan tidak jujur
- Memberikan ekspetasi lebih ke orang-orang MALAS
Olahraga lari bukan tentang pencitraan semu, tapi tentang kesehatan, kebugaran, dan pencapaian diri. Bagi para pelari sejati, proses dan disiplin adalah kunci. Tren joki Strava adalah sisi kelam dari budaya "Fear of Missing Out" (FOMO) di media sosial. Mari jadikan olahraga lari sebagai wadah untuk meningkatkan kesehatan dan kebahagiaan, bukan ajang pamer semu.
Ingatlah, pelari sejati adalah mereka yang berlari dengan hati dan keringat, bukan dengan joki dan pencitraan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H