Lihat ke Halaman Asli

Parahnya Politik Dagang Sapi Indonesia

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Populi iniurias ab imperiis impositas numquam oblivisci possunt

- Rakyat tidak akan melupakan ketidakadilan yang ditimpakan para penguasa (peribahasa Latin)

Akhirnya, menulis lagi! Meskipun isinya lagi-lagi soal keprihatinan kita bersama beberapa waktu belakangan ini, soal politik Indonesia yang nampak makin nyampah dan nggak guna dibandingkan dengan penderitaan yang secara riil dan eksak dinyatakan sebagian besar rakyat Indonesia. Inilah paradoks yang tampaknya akan sulit dilakukan dalam beberapa waktu ke depan, dan cita-cita kita akan "Kemanusiaan yang adil dan beradab" atau "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" hanya akan menghiasi buku-buku cetak Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah-sekolah sepenjuru Indonesia.

Bukan tulisan apologetik

Saya tidak ingin menjadikan tulisan ini menjadi tulisan yang apologetik bagi Presiden kita saat ini. Lagi-lagi seperti yang saya katakan dalam beberapa tulisan sebelumnya, Presiden RI sangat berpotensi menjadi seorang pemimpin yang baik, andai saja, andai saja, lagi-lagi andai saja, tidak perlu disibukkan dengan tarik ulur kepentingan, jual beli sapi di gedung megah yang katanya sudah miring dan kurang luas itu. (Apa pentingnya membangun gedung baru senilai triliunan rupiah kalau isinya tidak lebih dari sekumpulan orang jualan sapi?)

Salahnya implementasi demokrasi di Indonesia

Ijinkan saya mengutarakan sejumlah poin mengenai implementasi demokrasi di Indonesia saat ini. Indonesia sudah sampai pada the point of no return di mana tentu tidak mungkin kembali dari idealisme demokrasi yang kita hirup di alam bebas ini. Patutlah kita berbahagia bahwa Indonesia sudah menginjak demokrasi yang dicita-citakan oleh siapapun sepanjang sejarah merdekanya negara Indonesia.

Hanya saja, tentu ada yang salah. Saya teringat salah satu filsuf Yunani pernah mengatakan bahwa demokrasi adalah salah satu bentuk terendah pemerintahan. Rasa-rasanya bukan tanpa alasan. Jika mempertimbangkan konteks Yunani Kuno, demokrasi sering diparalelkan dengan the rule by the mob, pemerintahan oleh massa (yang seringkali marah dan mengamuk). Kalau melihat konteks Indonesia saat ini, demokrasi adalah the rule by the few, especially the rich ones yang justru terlihat seperti sebuah kehidupan yang oligarkik.

Kemudian seolah-olah demokrasi menuntut sistem multipartai. Okelah, tidak ada salahnya menggunakan sistem multipartai; seperti beberapa negara demokratik lain di dunia. Masalahnya adalah: masakan ada empat puluh delapan partai politik peserta Pemilihan Umum demokratis pertama di era Reformasi pada tahun 1999? Pemilu-pemilu selanjutnya tidak kalah 'menyakitkan': semua orang berlomba-lomba membuat partai politik seolah seperti channel untuk merebut kekuasaan tanpa menyadari bahwa partai politik adalah bentuk dari implementasi demokrasi.

Itulah dia! Apa guna partai politik? Saya teringat pada teori-teori dari sekolah menengah, yang mengatakan bahwa partai politik berfungsi, antara lain: [1] sarana sosialisasi politik; [2] sarana rekrutmen politik; [3] sarana pengambil kekuasaan; dan sebagainya (saya sendiri sudah sedikit lupa). Sayangnya, para elit terlampau terbuai dengan yang nomor tiga; tanpa ingat fungsi-fungsi lainnya. Sayang sekali!

Parahnya kemudian, partai-partai berlomba-lomba untuk 'masuk koalisi', atau 'masuk oposisi'. Di kalangan koalisi masih suka ada perpecahan karena masing-masing partai ternyata bertindak sendiri-sendiri. Oposisi tidak bertindak sebagai the real opposition, yang justru siap ikut digeret arus ketika memang waktunya demikian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline