Lihat ke Halaman Asli

Mengapa Pramono Anung dan bukan Anies?

Diperbarui: 28 Agustus 2024   23:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ANTARA NEWS

Dinamika politik menuju Pilkada 2024 telah dimulai dengan pendaftaran bakal calon kepala daerah yang berlangsung dari 27 hingga 29 Agustus 2024. Di antara berbagai daerah yang menggelar Pilkada, Daerah Khusus Jakarta (DKJ) menjadi sorotan utama. Pilkada DKJ sering dianggap sebagai "tiket" untuk maju pada pemilihan presiden, menjadikannya ajang yang sangat diperhatikan oleh berbagai pihak.

Sejak awal, beberapa nama besar seperti Anies Baswedan, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dan Ridwan Kamil disebut-sebut akan maju sebagai calon gubernur DKJ. Ridwan Kamil, yang didukung oleh koalisi 15 partai, termasuk Gerindra, PKS, Golkar, dan Demokrat, menjadi salah satu kandidat kuat. Sementara itu, PDI-P awalnya dirumorkan akan mengusung Anies Baswedan sebagai calon gubernur dengan Rano Karno sebagai calon wakilnya. Kabar ini sempat mendapat perhatian besar, terutama setelah Anies terlihat mengunjungi kantor DPD PDIP Jakarta pada 24 Agustus 2024.

Namun, pada 27 Agustus 2024, PDI-P secara mengejutkan mengumumkan bahwa mereka akan mengusung Pramono Anung, bukan Anies Baswedan. Keputusan ini mengejutkan publik, terutama karena Pramono Anung tidak pernah muncul dalam survei popularitas yang menempatkan Anies dan Ahok di posisi teratas. Pilihan ini memicu spekulasi di kalangan pengamat politik dan masyarakat.

Alasan PDIP Memilih Pramono Anung

Ada beberapa alasan strategis mengapa PDIP akhirnya memilih Pramono Anung. Pramono memiliki latar belakang yang kuat di dunia politik sebagai politisi senior PDIP, dengan pengalaman empat periode di DPR dan berbagai posisi penting, termasuk Sekretaris Kabinet Jokowi. Meskipun tidak populer di kalangan masyarakat umum, Pramono dianggap sebagai pilihan aman yang dapat mengakomodasi kepentingan internal PDIP.

Dalam konteks internal partai, PDIP dihadapkan pada dilema antara mendukung Anies atau Ahok. Jika Anies diusung, PDIP berisiko kehilangan simpati dari sebagian masyarakat yang masih mengingat Pilkada 2017, di mana Anies dianggap mempolitisasi agama untuk melawan Ahok. Anies yang sepertinya hanya ingin menjelajahi partai - partai politik dan tidak ingin menjadi kader menjadi salah satu alasan Megawati. Di sisi lain, mendukung Ahok mungkin tidak memberikan peluang besar untuk menang, meskipun bisa meningkatkan simpati terhadap PDIP. Pramono Anung dipilih sebagai solusi tengah yang dapat menjaga stabilitas internal partai.

Pramono Anung Sebagai Simbol Pembukaan Ruang Diskusi

Pemilihan Pramono Anung juga dinilai sebagai simbol bahwa PDIP mulai membuka diri untuk berdiskusi dengan berbagai pihak, termasuk Jokowi dan Prabowo. Jika PDIP mengusung Anies, meskipun secara elektoral mungkin menguntungkan, hubungan dengan Jokowi dan Prabowo bisa terganggu. Pramono Anung adalah figur yang masih diterima oleh kedua pihak tersebut, sehingga pilihan ini juga mempertahankan jalur komunikasi yang penting dalam konstelasi politik ke depan.

Pramono Anung sendiri telah bertemu dengan Jokowi dua kali sebelum pengumuman resmi. Dalam pertemuan tersebut, Jokowi menyatakan dukungannya dan mendorong Pramono untuk maju dalam Pilkada DKJ. Ini menunjukkan bahwa PDIP tidak hanya memikirkan kepentingan jangka pendek, tetapi juga mempertimbangkan dinamika politik jangka panjang, termasuk hubungan dengan Prabowo yang kemungkinan besar akan menjadi tokoh penting dalam politik nasional ke depan.

Keputusan tepat PDIP

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline