Dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diadakan oleh Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbang Film) di Jakarta, 2 Agustus 2017 lalu, ada pernyataan menarik sekaligus mengejutkan dari Ketua Pelaksana FFI 2016, Lukman Sardi. Menurut Lukman, ketika FFI berlangsung, banyak juri tidak menonton film-film yang dinilai.
"Jujur saja, saya sulit mau bilang apa soal banyaknya Juri FFI yang tidak nonton film yang dinilai," ungkap Lukman, seperti dikutip oleh tabloidkabarfilm.com (6/8/2017).
Pernyataan Lukman bagi sebagian peserta FGD mungkin tidak terlalu mengejutkan, karena banyak di antara mereka yang terlibat dalam forum itu juga terlibat dalam kepanitiaan dan Juri FFI 2014 -- 2016. Yang mengejutkan baru kali ini ada yang berani mengungkapkan, dan itu dari mulut mantan Ketua Pelaksana FFI sendiri.
Namun demikian, pernyataan itu jelas akan menimbulkan implikasi lain. Setidaknya ada dua persoalan yang harus dilihat sebagai buntut dari pernyataan itu, yakni legitimasi moral para juri yang tidak menilai dan legitimasi pemenang FFI.
Para Juri yang tidak menilai film, tetapi tetap menerima honor dari anggaran yang disediakan oleh pemerintah, jelas menjadi kelompok yang tidak memiliki standar moral yang baik. Padahal pakaian yang melekat pada diri seniman adalah moral. Karena seniman dalam karyanya mengutamakan rasa, kejujuran atau nurani. Karyanya ke luar dari hati, bukan seperti kebanyakan profesi lain yang memang dilegalkan untuk meniru.
Karena standar moral sangat penting dalam diri seniman, maka moralitas itu juga akan tercermin dalam perilaku dan pergaulan sosialnya. Jika seniman tak punya moral, maka karya-karyanya pun patut dipertanyakan.
Itu kalau memang sang seniman, yang direkrut menjadi Juri FFI menerima honor yang disediakan meski pun tidak bekerja (menilai film). Tetapi bagaimana jika sang juri juga tidak menerima honor karena merasa tidak enak? Kalau melihat tidak ada anggaran yang kembali ke kas pemerintah sebagai penyandang dana FFI, jelas di sini ada ketidakjujuran pengguna anggaran. Ini sebuah penggelapan, bisa dipidana.
Semua pihak, baik panitia maupun para juri yang terlibat dalam FFI kelihatannya sepakat untuk memendam persoalan itu, daripada menimbulkan dampak yang pelik di kemudian hari. Tetapi pernyataan Lukman Sardi bagi orang luar terasa sangat mengejutkan.
Bukan yang pertama
Penulis merasa yakin bahwa apa yang diungkapkan Lukman Sardi bukan baru terjadi pada saat ia menjadi Ketua FFI. Tahun 2014, pertamakali FFI menggunakan 100 Juri, penulis pernah bertemu dengan salah seorang staf EO (Event Organizer), atau pihak pemenang tender pelaksana FFI di Palembang, yang mengeluhkan permintaan panitia untuk membayar kebutuhan seluruh Juri, meski pun tidak semua Juri bekerja.
Misalnya dalam kegiatan nonton bersama para Juri di Bioskop XXI Planet Hollywood Jakarta, bidang penjurian meminta anggaran untuk semua juri -- makan dan transport -- dikeluarkan, meski pun tidak semua anggota Juri datang untuk menilai.