Lihat ke Halaman Asli

Ini Jawaban Grup 21 Atas Polemik Tata Edar Film

Diperbarui: 6 Agustus 2015   12:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Pemilik jaringan bioskop Twenty One (Grup 21) Senin (3/8) mengadakan pertemuan dengan wartawan di XXI Lounge Jakarta Theater, untuk semua polemic muncul terkait tata edar film, laporan jumlah penonton – termasuk film impor – dan kebijakannya sebagai pemilik bioskop. Meski pun disebut halal bihalal dengan wartawan, acara itu dikemas seperti jumpa pers. Hadir dalam acara itu Presiden Direktur Grup 21 Hans Gunadi, Direktur 21 Jimmy Haryanto dan Tri Rudy Anitio serta Corporate Secretary Grup 21 Catherine Keng.                               

Berikut penjelasan yang sempat direkam dalam pertemuan tersebut, yang merupakan jawaban dari beberapa wartawan yang hadir.

Rudy Anitio: Kalau film sudah berkurang penontonnya apakah kami turunkan atau tidak, katakankah 10 persen dari kapasitas, itu hanya berlaku untuk film impor. Untuk film nasional hanya kami kurangi jam pertunjukkannya saja. Cobtohnya Mencari Hilal: beberapa hari pertama kosong terus penontonnya, bahkan seingat saya perolehan tertinggi di satu bioskop itu 130 penonton untuk lima pertunjukkan tidak pernah mencapai angka sampai 200. Apa yang kita lakukan? Film Hilal mulai 15 Juli sampai satu minggu film tetap main, dengan harapan akan rebound, dalam arti dari mulut ke mulut ada orang yang suka film ini akan ramai. Dan pada saat ramai penontonnya akan kita tambah jam pertunjukkannya.    

Kedua apakah ada batasan berapa penonton bioskop untuk film bisa turun. Untuk operasional bioskop, sebenarnya kita butuh 30 % occupancy. Kalau bioskop punya 150 seat, dan sehari 5 kali pertunjukkan, berarti kita butuh 30 persen kali 750 seat, atau 225 penonton untuk biaya operasional. Tapi yang kami lakukan sekarang, kami tetap mempertahankan film nasional yang perolehan penontonnya 100 penonton / hari. Kami sebetulnya mengalami kerugian operasional, tapi kami pertahankan supaya penonton punya waktu untuk mendapat informasi dari mulut ke mulut.

Jimmy Haryanto: Untuk sebuah bioskop bisa survive, pengalaman kami selama 25 tahun ini ke luar satu angka 30 %. Kalau bioskop berkapasitas 100 seat, BEP kita ada di 30 orang. Setiap 100 dolar yang kita terima, 10 dolar kita bayar ke pajak, 90 dolar kita bagi dua, 45 dolar untuk pemilik film, sisanya untuk bioskop. Secara share bioskop, kami menerima 15 ribu rupiah dari rata-rata harga tiket. Kalau penonton film nasional dalam 5 show ada 100 orang, apakah kita bisa survive? Sedangkan tahun lalu UMK naik 40 persen. TDL naik 25 persen. Kenaikan ini tidak sebanding dengan kenaikan harga tiket kami. Saya berharap bahwa pertanyaan-pertanyaan seperti ini disikapi dengan bijaksana. Karena bagaimana pun kami ini pelaku usaha yang sampai hari ini punya hampir 10 ribu karyawan.

Kami tidak bisa membela orang-orang yang filmnya tetap ingin ditayangkan walau penontonnya minim. Di satu pihak kami dipaksa untuk menambah layar dari tahun ke tahun. Tapi di satu pihak kami dipojokkan, bahwa kita tidak membela film nasional.

Rudy Anitio: Mungkin kita perlu mempelajari dengan lebih baik, apa yang dimaksud dengan quota di Cina. Cina itu negara yang sangat unik dalam mendefinisikan apa itu film nasional. Contohnya film Loopers, itu film yang perusahaan Cina berinvestasi di situ, walau pun sangat kecil, itu di consider sebagai film nasional. Demikian juga dengan film-film yang dibeli secara flat oleh distributor di Cina, itu dikategorikan sebagai film nasional. Jadi apa yang disebut film nasional di Cina, itu film import yang pembagian hasilnya dilakukan secara revenue sharing. Jadi kalau apa yang diterapkan di Cina itu, yang saat ini quotanya 34 judul lebih, itu more or less, tidak jauh berbeda dengan di Indonesia. Cina menetapkan kebijaksanaan yang menetapkan film nasional itu berdasarkan kepentingan finansial dari pemilik filmnya. Selama kepentingan finansialnya itu milik orang Cina, itu dianggap sebagai film nasional.

Chaterine Keng : Quota yang 34 judul mengalami kenaikan pada Desember tahun lalu. Sebelumnya hanya 20 judul. Jadi boleh dikatakan hampir di seluruh dunia ada tren kenaikan film impor yang akan dipertunjukkan. Saya mau menambahkan, kalau satu layar bioskop satu hari hanya menghasilkan Rp. 1,5 juga, bagaimaan bioskop bisa bertahan?

Rudy Anitio: Penentuan jumlah layar ini pada dasarnya adalah kesepatakan antara pemilik film dan pemilik bioskop. Kalau kita lihat analogi sederhana, pemilik film memiliki keyakinan filmnya akan sukses, pemilik bioskop juga punya judgement (penilaian) film mana yang akan sukses. Jadi ini ibarat orang pasang taruhan. Dua orang akan pasang taruhan di angka yang sama. Tergantung pada keyakinan masing-masing pihak. Kalau bioskop punya keyakinan, tentu bioskop akan memberi banyak. Tapi seringkali terjadi perbedaan. Bahkan dengan importir film pun kita selalu berbeda. Perbedaannya bukan bioskop selalu ingin memberi layar sedikit; kadang bioskop ingin dipasang layar lebih banyak.

Masalah ini sepenuhnya masalah bisnis. Karena kalau kita pasang satu film di banyak layar, tetapi tidak ada penonton, mungkin bagi pemilik film tidak ada kerugian berarti karena film dia bisa dimainkan terus. Tetapi showtime yang hilang bagi bioskop, itu tidak akan pernah kembali sampai kapan pun. Karena bioskop hanya bisa beroperasi 365 hari / tahun, dan sehari maksimal 5 show. Sekali itu hilang, tidak akan bisa dikembalikan lagi. Kami tidak membedakan pemilik film apakah itu importir atau produser. Bagi kami mereka sama.

Mengenai Tata Edar: Sebetulnya apa sih tata edar itu? UU Perfilman kita sebetulnya masih memiliki kelemahan. Yang pertama UU kita belum mendefinisikan apa itu film nasional. Ini satu hal yang aneh. UU membedakan apa itu film impor dan film Indonesia, tetapi tidak ada satu pun definisi apa itu film nasional. Sehingga sekarang ini ada orang Indonesia membuat film di Hollywood, apakah itu film asing atau film nasional; ada perusahaan joint production dengan pihak asing, apakah itu film nasional atau film impor.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline