Lihat ke Halaman Asli

Film “3 Nafas Likas”: Kisah Wanita Pendamping Hidup Pahlawan Nasional Djamin Ginting

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1412752169134051397

[caption id="attachment_364925" align="aligncenter" width="546" caption="Atikah Hasiholan bersepeda dalam film "][/caption]


Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, nama Djamin Ginting tidak terlalu dikenal. Padahal Djamin Ginting adalah salahsatu pahlawan nasional yang berjuang disaat Indonesia ingin melepaskan diri dari penjajahan, serta mempertahankan kemerdekaan itu ketika Belanda kembali ke Indonesia dengan membonceng sekutu. Kini nama Djamin Ginting diabadikan sebagai sebuah nama jalan di Medan, Sumatera Utara.


Djamin Ginting adalah pahlawan nasional dari Sumatera Utara, tepatnya dari Tanah Karo. Karier militernya dimulai dari bawah sebagai tentara Peta, hingga ia meninggal dunia sebagai Duta Besar Indonesia untuk Kanada. Djamin adalah salah satu dari dua orang ajudan Jenderal Ahmad Yani yang selamat dari kekejaman PKI pada peristiwa G30S. Salah satunya adalah Umar Wirahadikusumah.

Melalui film 3 Nafas Likas, sutradara Rako Prijanto yang menerjemahkan skenario Titin Wattimena, mencoba menghadirkan sosok Djamin Ginting.n Tetapi tokoh utama dalam film ini adalah Likas boru Tarigan, isteri sang pejuang.


Ada tiga orang yang sangat berpengaruh dalam diri Likas, yakni ibunya, kakaknya Jure, dan suaminya Djamin Ginting. Ibunya, meski melarang Likas menempuh pendidikan guru, begitu dekat dengan Likas. Sang ibu merasa begitu kehilangan Likas ketika anaknya itu ingin bersekolah guru di sekolah Belanda. Jure adalah kakak tertua Likas yang membiayai dan memberinya motivasi untuk belajar, sedang Djamin Ginting, adalah suami yang juga belahan jiwa Likas.


Ketika ketiga orang itu dipanggil oleh Sang Khalik, jiwa Likas pun seperti melayang. Ironisnya, kepergian ketiga orang yang sangat dicintainya itu, terjadi jauh dari dirinya. Sang suami meninggal di Kanada ketika Likas berangkat ke Jakarta, untuk mengantarkan surat kepada Presiden Soeharto, atas permintaan suaminya yang menjadi Dubes. Kematian Jure yang pelaut hanya diketahui melalui telegram berbahasa Jepang yang diterimanya. Sedangkan ibunya meninggal ketika ia sekolah guru. Likas baru tahu ibunya meninggal ketika ia kembali ke rumahnya di Sibolangit.


Sejak kecil Likas adalah anak yang cerdas dan berani. Ia juga kritis dan selalu berontak atas ketidakadilan jender yang terjadi di kampungnya. Ketika anak-anak lelaki sebayanya menghina orangtuanya, Likas mengamuk, mencabuti tanaman jagung milik orangtua dari anak yang menghinanya. Setelah jadi guru, mengkritik ketidaksetaraan jender di daerahnya, yang membuat ia dikecam keras para lelaki.


Begitulah Likas tumbuh. Di antara kekangan adat, dan ibu yang terlalu posesif, Likas ingin menjadi perempuan yang maju. Untuk itulah ia sekolah guru, meski pun ibunya meminta agar Likas tidak pergi. Sang ibu mengatakan akan mati bila Likas pergi. Ia bahkan berjanji akan memberkan semua perhiasan emasnya bila Likas tetap tinggal di rumah. Tetapi tekad Likas dan motivasi ayahnya yang berpandangan lebih maju, membuat Likas melupakan ratapan sang ibu. Kata-kata sang ayah, “Kau kan suka ke gereja. Kau kan tahu bahwa kematian itu akan terjadi jika Tuhan menghendaki,” membuat Likas kuat meninggalkan ibunya.


Likas kemudian tumbuh menjadi gadis yang cantik dan cerdas. Seorang prajurit Peta yang baru pindah ke Pangkalan Brandan, tempat Likas mengabdikan ilmunya sebagai guru, tertarik kepada Likas. Prajurit itu adalah Djamin Ginting, lelaki yang kelak menjadi suaminya. Likas yang mulanya acuh, tak kuasa menolak cinta Djamin, yang terus menerus membobardir dirinya dengan surat cinta.

Djamin berniat melamar Likas. Tetapi ayahnya tak setuju, karena tidak tahu asal-usul Djamin. Bahkan ketika Djamin datang melamar bersama orangtua dan saudara-saudaranya, ayah Likas pergi entah ke mana. Setelah Likas merajuk sedemikian rupa, ayahnya mau menerima keluarga Djamin. Tapi dalam menerima lamaran itu pun ia memberikan syarat yang sangat berat, yakni mas kawin sebesar 3000 gulden. Harapannya tentu agar Djamin mundur karena tidak sanggup. Tapi Djamin sang pejuang menyatakan sanggup memenuhi permintaan itu.


Likas akhirnya menikah dengan Djamin. Tetapi pernikahan itu justru menjadi permulaan hidup yang sesungguhnya bagi Likas. Sebagai pengantin baru, bukan bulan madu yang indah dirasakan, melainkan penderitaan, karena ia seringkali ditinggal sang suami ke medan laga, atau harus ikut bersama para pejuang hingga ke hutan Aceh Selatan, untuk menghindari tentara penjajah. Di masa gerilya itu pula anak pertamanya lahir.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline