Judul: Depok Tempo Doeloe, Potret Kehidupan Sosial & Budaya Masyarakat Penulis: Yano Jonathans Penerbit: Libri, Jakarta 2011 Halaman: xviii + 274 hal ISBN: 978-979-687-941-0 Apabila kita membicarakan Depok akan muncul berbagai hal yang berhubungan dengannya. Mulai dari jalur kereta Jabotabek atau Commuter, kampus Universitas Indonesia yang hijau, jalan Margonda yang selalu macet pada saat jam kerja dan pulang kerja dengan aneka kuliner di sepanjang jalan tersebut, hingga satu komunitas yang dikenal dengan ‘Belanda Depok’. Buku yang ditulis ini termasuk sejarah dari dalam (history from within) yang ditulis oleh salah satu keturunan ‘kaum Belanda Depok’. Satu istilah yang tidak disukai oleh mereka sendiri. Meskipun sebutan itu menjadi ‘identitas’ mereka. Kelebihan dari sejarah yang ditulis dari dalam adalah informasi yang kaya. Namun, terkadang ada pula kekurangannya yaitu penulis sulit mengambil jarak terutama hal-hal yang dianggap tak layak untuk ditampilkan. Sehingga kesannya tidak netral. Buku Depok Tempo Doeloe: Potret Kehidupan Sosial dan Budaya Masyarakat yang ditulis oleh Yano Jonathans menitikberatkan pada kehidupan warga Depok di wilayah Depok Lama. Suatu hal yang menarik jika kita menilik anak judul buku ini yaitu kata ‘potret’. Sebuah potret memberikan gambaran dua dimensi yang tergantung pada orang yang mengambil gambar tersebut. Dengan kata lain tergantung fokus yang ingin diambil. Hasilnya dapat seindah aslinya, lebih indah dari aslinya atau bahkan lebih buruk dari aslinya. Buku yang dilengkapi dengan ilustrasi foto 'jadoel' dan masa kini ini mengambil temporal abad ke-18 hingga abad ke-20 dengan spasial wilayah Depok Lama. Buku ini terdiri dari lima bab dengan menyajikan berbagai tema. Seperti alam (Sungai Ciliwung, hutan yang menjadi cagar alam Pancoran Mas), struktur masyarakat/kehidupan masyarakat, pemerintahan (Depok pernah memiliki seorang ‘presiden’), budaya, religi, kuliner, tradisi, arsitektur, cerita/legenda (si Bagol dan Lange Jan), transportasi (kereta Jabotabek). Berbagai sumber baik tertulis maupun lisan ditelusuri oleh Yano Jonathans, pria kelahiran Bandung 4 Maret 1951 ini. Sayangnya sumber-sumber lisan yang dalam penulisan sejarah dapat menjadi sumber primer ini tidak mencantumkan usia dan waktu wawancara. Hal ini cukup penting mengingat informasi yang mereka berikan tentu sudah berjarak dengan masa kini. Peta-peta yang disajikan pun jika ukurannya dibuat lebih besar akan membuat buku ini menarik. Apalagi jika peta tersebut menggunakan nama-nama tempat tempo doeloe. Namun, terlepas dari semua itu penghargaan patut diberikan pada penulisnya yang telah menghadirkan kembali situasi Depok tempo doeloe. Depok lama merupakan tanah partikelir milik Chasteleijn yang pernah mengabdi untuk VOC namun mengundurkan diri karena tak sesuai lagi dengan hati nuraninya. Dalam menggarap tanahnya Chasteleijn dibantu oleh para slaven (budak) yang kelak tidak disebutnya sebagai slaaf (budak) melainkan volk (rakyat). Ini merupakan benih multikultur di Depok karena para budak Chasteleijn berasal dari Bali dan Makassar. Ciri multikultur tersebut dapat dilihat jejaknya dalam bentuk keragaman kuliner, dalam perayaan Natal, pemasangan petasan menyambut tahun baru (yang sekarang sudah dilarang) Cita-cita Chastelein yang dituangkan dalam sebuah buku Invallende Gedagten Ende Aanmerkingen over Colonien- Beberapa pikiran dan catatan yang muncul dalam benakku mengenai negeri Jajahan pada 1705 menegaskan pendapatnya mengenai bentuk ideal sebuah koloni. Hal itu lah yang diwujudkan dalam kelompok masyarakat yang dibentuknya di Depok. Cita-citanya adalah membentuk suatu kelompok masyarakat agraris yang taat pada agama (Kristen Protestan). Cita-cita ideal ini pula yang menyebabkan Chastelein berselisih paham dengan para pembesar VOC lainnya sehingga ia keluar dari VOC yang bermental kruidenier (pedagang). Seperti yang telah diketahui para pedagang memiliki tujuan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Di Depok inilah cita-cita Chastelein diwujudkan. Ciri mental pedagang pun tidak dilepaskannya begitu saja. Chastelein menerapkan aturan harga minimum hasil perkebunan dan pertanian yang dikelola para budaknya (kelak disebutnya sebagai volk = kaum). Untuk melindungi para budaknya supaya tetap memiliki kesempatan berusaha, Chastelein melarang pedagang Cina menetap dan berjualan di Depok. Peraturan ini yang mengakibatkan para pedagang Cina asal Batavia memilih tinggal di luar Depok daripada pulang ke Batavia. Daerah tempat mereka tinggal itu sekarang dikenal dengan nama Pondok Cina. Ciri Chastelein sebagai penganut Protestan yang taat dapat pula kita lihat dari didirikannya gereja yang kelak bernama Immanuel di permukiman para budaknya. Sehingga tidak hanya kesejahteraan secara materil yang diperhatikan oleh Chastelein tetapi juga kesejahteraan rohani, khususnya ajaran Kristen. Di gereja inilah menjadi pusat kegiatan bimbingan rohani Chastelein bagi para budaknya. Selain itu Chastelein juga menerapkan peraturan yang tegas berkaitan dengan larangan bermain judi dan menghisap madat serta pertunjukan ronggeng. Larangan lainnya adalah menikah dengan orang luar serta bergaul dengan penduduk di seberang sungai Ciliwung. Dalam buku ini diungkapkan oleh penulisnya mengenai pemisahan sosial, orang Kulon (Barat) yang dianggap elite dan orang Wetan (timur) yang dianggap rakyat jelata. Namun, seiring berkembangnya zaman, cita-cita awal Chastelein ini mengalami perubahan. Meskipun pada awalnya sempat terwujud tetapi keinginan Chastelein untuk membentuk suatu komunitas yang tertutup (gesloten gemeenschap) tak terwujud. Apalagi ketika pemerintah mulai membangun perumahan nasional pada 1976 di Depok yang pada 1981 akhirnya dibentuk Kota Administrasi Depok semakin meruntuhkan cita-cita Chastelein. Diterbitkannya buku ini menambah sumber mengenai kota Depok yang kelak pasti akan terus berkembang. Di samping itu buku ini memberikan informasi kepada kita bahwa Depok memiliki potensi luar biasa yang seolah-olah dibiarkan oleh pemerintah. Padahal pada masa Hindia-Belanda, pada 1913 di salah satu bagian lahan milik Chastelein, Gubernur Jenderal AW.F. Idenburg meresmikan Natuur Monument (cagar alam) seluar 6 hektar. Mungkin potensi alam pada masa kini sudah tak dapat lagi dinikmati karena sudah dipenuhi oleh permukiman penduduk. Potensi yang masih dapat dikembangkan adalah wisata sejarah di daerah Depok lama, misalnya arsitektur bangunan, kebiasaan masyarakat tempo doeloe di Depok. Memang untuk mewujudkkannya membutuhkan kerjasama dengan berbagai pihak, salah satunya pihak pemerintah. Namun, menurut hemat saya ketika pemerintah ‘membiarkan’, saatnyalah bagi kita untuk mandiri, sesuai dengan semangat Chastelein , mengembangkan potensi tersebut secara mandiri. Hal yang perlu dilakukan adalah mempersiapkan infra struktur pendukung sebaik mungkin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H