Lihat ke Halaman Asli

Sajak-sajak: Matroni Muserang

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Risalah Batu-Batu

Kadang aku tak sanggup

Menaklukkan batu-batu jiwamu

Lantaran engkau tak jua

Meninggalkan irisan luka kata

Yang datang dari seberang

Ketaksanggupan adalah keniscayaan

Yang tidur pulas memelukku erat

Apa dan siapa diriku? Lalu

Ketakmengertian itu membuat

Kemenyatuan pena dengan darahku

Walau kau anggap puisi sebuah kemiskinan

Lantaran aku penyair

Kau menuduhku tak memiliki apa-apa

Penyair adalah apa-apa

Penyair adalah separuh semesta

Dan separuhnya adalah kata-kata

Lalu, dimanakah tuhan?

Tuhan adalah kemenyatuan penyair dan kata-kata

Masihkah kau tak percaya

Kalau aku orang hebat

Yang mampu menaklukkan semesta

Hanya dengan kata-kata

Yogyakarta, 2009

Adalah Engkau

Engkau bisa mencari dari atas

Dari bawah bahkan dari tengah-tengah

Sehingga menemukan perjumpaan

Di dalam kata-kata

Jendela sudah terbuka

Jendela yang di sukai banyak penyair

Tapi sudahkah kita bertanya

Terhadap keberhasilannya itu?

Keberhasilan mendapat pengetahuan

Keberhasilan mencari perjuampaan?

Engkau boleh sombong

Asal masih ada sebiji sadar di jiwamu

Yang mampu membiaskan rona bintang

Melebihi jejak perjalanan penyair

Adalah engkau yang memberi rasa

Bagi mereka yang miskin dan yang tak tersentuh penguasa

Penyair adalah orang pertama yang memberi bantuan

Memberi tanpa laba

Membantu tanpa ada unsur apa-apa

Kini, dunia semakin luas hanya dalam diri

Yogyakarta, 2009

Negeri Tanpa Moral

Tetes hujan

Memecah malam menemani lelap

Aku tidur bersama dingin

Memeluk perasaan gelisah

Melihat TV siaran para pencuri

Tidurku tak lelap dalam mimpi

Aku melihat pencuri itu mati

Di makan curiannya sendiri

Mimpi sebuah negeri

Yang terlalu banyak orang tidak tahu malu

Tersenyum manis hanya untuk kekuasaan

Berkata lembut hanya untuk UUD

Bertindak sopan hanya untuk fasilitas serbaada

Cita-cita negeri indah

Hanya terlihat di tepi mimpi-mimpi

Karena mereka selalu tidur

Siang tidur

Malam apa lagi

Aku malu hidup di negeri para pencuri

Aku ingin menjadi penyair yang kaya

Tapi tak mencuri apa-apa dari rakyat

Cita-cita yang agung

Tak terlihat seperti duit

Ia tiba-tiba mengapung dalam jiwa

Menjelma menjadi rasa

Untuk semua bangsa yang tertindas

Dan tanpa moral

Yogyakarta. 2009

Tahun Baru Tanpa Guru Bangsa

Kita semua tak cukup hanya mengucapkan turut berduka cita

semua pemimpin mengatakan demikian

kata-kata tak cukup hanya di ucapkan di lidah, tapi

kenyataan lebih penting untuk dilaksanakan

kenyataan adalah praktik kedewasaan kita

kenyataan adalah bukti sah menjadi pemimpin

bukan wacana, bukan janji juga bukan hukum

sudah kita berbuat seperti yang di contohkan sang guru?

Yogyakarta, 30 Desember 2009



Sebatas Batu Prasangka

Sebatas batu prasangka

Yang lama terkikir masa

Yang belum menginjakkan kaki keberangkatan

Untuk pulang bersama mahakarya semesta

Kini, balasan puisi terjawab dengan indah

Melalui penyair-penyair dunia

Kau harus tuliskan satu huruf yang baru lahir

Karena dia akan menjadi penyampai pesan puisi berikutnya

Berdialog dengan tubuh, berdialog dengan jiwa

Maka lahirlah anak kata-kata sebagai makna

Prasangka akan menjadi nyata

Ia tidak kosong, ia begitu bermakna

Segalanya seperti batu

Keras penuh bintik-bintik keindahan

Yogyakarta, 2010

Sumber: Antologi Puisi Mazhab Kutub

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline