Ah, ITB. How nostalgic. Waktu pertama saya masuk disana setelah daftar ulang. Unit unit dan himpunan membawa anak yang baru lulus ini untuk persiapan orientasi. Kami diberikan buku petunjuk tahap persiapan bersama (tpb) dan buku yang berisi kegiatan dan pengenalan unit unit dan himpunan.
Selama 5 tahun saya berjalan dari depan Boromius setelah turun dari angkot, menyusuri pohon pohon beringin disekitaraan jalan ganesha. Kemudian menelusuri jalan menuju aula timur, kemudian ke aula barat melewati jurusan sipil, fisika sampai ke Labtek VI.
Melewati jalur tersebut berjalan kaki selalu menenangkan pikiran saya yang saat itu jarang tidur karena banyaknya beban kuliah dan ujian yang harus saya lalui. Kolom kolom batu alam dengan atap julang ngapak selalu indah dinikmati dipagi hari.
Bangunan ini adalah bangunan asli yang masih ada di ITB sejak dibangun ditahun 1918. Bagaimana rasanya duduk dibangku yang juga diduduki Soekarno ketika kuliah di sekitaran aula timur pastinya memberikan kesan mendalam. Terutama saat menjalani ujian fisika yang isinya menanyakan berapa frekuensi suara yang didengar mahasiswa yang dilempar ke neraka jika iblis yang dengan jarak x mengeluarkan suara dengan frekuensi tertentu.
Masa masa perkuliahan saya lalui dengan begadang belajar sampai jam 3 pagi karena saya sebenarnya tidak terlalu pandai sehingga butuh usaha ekstra untuk lulus. Tetapi akhirnya sikap keras kepala saya untuk tidak menyerah ditengah jalan berhasil meluluskan saya,
14 tahun kemudian, penulis mendapati bahwa banyak yang dia pelajari seperti metoda numerik, sistem kontrol cerdas dan analisi sinyal digital tidak pernah dia pakai didunia kerja.
Tetapi anjuran seorang alumni di kuliah tamu untuk belajar bahasa Inggris sangat membantu karir saya. Kegiatan kegiatan seperti pencarian dana ke perusahaan perusahaan disekitaran bandung untuk kegiatan himpunan juga banyak membantu saya didunia kerja.
Tetapi pada akhirnya, pengalaman berkuliah di ITB juga begitu berkesan bagi saya. Saya selalu berusaha agar mimpi mimpi idealistik masa muda saya dulu belum banyak yang harus dikorbankan untuk bisa menjalani kehidupan sesuai realita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H