Lihat ke Halaman Asli

Puisi, Buruh dan Anjingnya

Diperbarui: 26 Februari 2017   18:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sam berada di langit ke tujuh, di awan lapis ke sembilan, atau sebut saja apa yang kamu suka. Tapi satu hal yang pasti, ini adalah saat paling membahagiakan dalam hidupnya. Sam mengalami emosi membuncah menyenangkan memandang untaian kata-kata buah tulisan tangannya yang dimuat pada pojok kiri atas halaman belakang sebuah surat kabar. Sam dalam pelukan kegembiraan, sukacita, gairah. Aku benar-benar tidak punya kata-kata untuk menggambarkan emosi yang unik, tetapi jika kamu seorang penulis, cobalah ingat dan bayangkan saat ketika kamu melihat tulisan pertamamu dimuat di media cetak, dan kamu akan mengerti maksudku.

Sam membaca puisi untuk dirinya sendiri, perlahan-lahan, penuh penghayatan, lembut, mereguk dalam-dalam setiap kata, tenggelam dalam fantasi ciptaannya sendiri, sampai hardikan pemilik toko buku mengeluarkan dia dari lamunan, saat meminta bayaran untuk surat kabar yang diambilnya. Sam membayarnya dan melanjutkan membaca puisinya sendiri, berjalan dengan keriangan pada setiap langkahnya menuju halte, menunggu bis jemputan karyawan yang bekerja shift malam ke lokasi tambang.

Sesampai di tempat kerja, dia menghampiri beberapa teman kerjanya yang tengah menanti pergantian shift.

“Lihat, puisiku telah dterbitkan,” kata Sam penuh semangat mengulurkan surat kabar.

Seorang teman mengambil surat kabar dari tangan Sam, membolak-balik halamannya beberapa saat dan berkata, “Hei, lihat kenaikan upah minimum kabupaten telah ditandatangani bupati.” Dan dia mulai membaca berita yang dimuat di halaman depan itu.

“Bukan. Bukan itu. Puisiku ada di halaman belakang,” hardik Sam.

“Yang mana?”

Sam merampas surat kabar dan menunjukan kepadanya.

“Baik,” kata temannya bahkan tanpa membaca puisi, melainkan kembali ke halaman pertama dan mulai membaca rincian kenaikan upah.

“Buta huruf bedebah pencampak sastra. Hanya tertarik pada uang,” kata Sam gusar menyambar surat kabar.

“Oh ya, kami memang buta sastra yang khawatir tentang uang, bukan filsuf seperti kamu yang membuang-buang waktu menulis puisi,” kata seseorang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline