Lihat ke Halaman Asli

Jangan Mau Ditipu Arab, Jangan Mau Diperas Arab

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

ARAB, China, dan India memberi warna utama pada budaya Nusantara, sehingga Indonesia menjadi seperti sekarang.

Kehebatan manusia Indonesia adalah dalam mengolahnya, tidak menerima bulat-bulat, apa adanya, budaya besar asing yang datang, yang masuk, melainkan para leluhur kita menyaringnya, sehingga kita mampu membangun dan memiliki corak budaya sendiri.

Batik dan Kuntauw Indonesia berbeda dengan batik dan Kun Fu China. Dengan dasar cerita yang sama - kisah Ramayana dan Mahabaharata - cerita wayang kita berbeda dengan India - bahkan kita punya pengiring  gamelan yang khas, yang di India tidak ada.

Musik dangdut yang kita adopsi dari Tabla India, berbeda dengan musik Bollywood. Demikian pula dengan pesantren kita berbeda dengan pesantren di Arab dan Mesir.  Santri kita memakai sarung buatan India, bukan "daster" layaknya orang Arab.

Karena itu, meski banyak dipengaruhi oleh budaya Arab, warga Indonesia di masa kini tidak layak tunduk pada budaya Arab, tidak perlu menjadi sub budaya Arab, dan memuliakan Arab secara berlebihan. Terutama pada Arab yang menyaru pada budaya Islam.

Di mata orang Arab, bangsa Indonesia bukan apa-apa. Bukan siapa-siapa. Sekutu yang sejajar dengan mereka, dan dihormati kini adalah Amerika dan Eropa, meski beda dalam banyak hal. Kita “cuma” sama-sama Islam, dan kita “cuma” pengirim TKW terbesar, seperti halnya Filipina, Bangladesh, Pakistan dan Ethiopia. Sekelas budak belian.

Sungguh menjijikkan sebagian dari warga kita, tanpa rasa malu menjadi budak Arab, menjalankan LSM Arab, kepanjangan tangan dan kepentingan Arab, menganggap Arab sebagai sesembahan, sebagai saudara nabi, sehingga harus dimuliakan, tanpa cacad cela.

Sejak Indonesia membayar Diyat Rp.4 miliar untuk menyelamatkan Darsem, kepada keluarga majikan di Arab, maka Diyat – yang artinya 'uang darah' - berubah menjadi "bisnis" baru. Nilai Diyat makin naik, kini melonjak jadi Rp. 22 miliar, dan turun menjadi Rp.15 miliar.

Menarik pendapat pakar hukum dan guru besar dari UI, Hikmahanto, agar pemerintah kita tidak membayar Diyat. Apalagi dengan dana APBN. Dampaknya tidak baik bukan hanya bagi pemerintah dan rakyat Indonesia, melainkan juga bagi semua pekerja asing yang bekerja di Arab. Dapat dipastikan, majikan-majikan di sana akan “ngelunjak”.

“Contohlah Indonesia, berapa pun permintaan kami akan dituruti karena bangsa Indonesia menujunjung tinggi kehormatan TKInya, " begitulah jalan pikiran para majikan di sana. "Hendaknya bangsa Bangladeh, Pakistan, dan Ethiopia yang bekerja di sini, mengikuti cara penyelesaian Indi]onesia. Bayar berapa pun yang kita minta “ begitulah pikiran mereka nanti.

Indonesia mengirim TKI dengan seleksi yang longgar. Sebagiannya ilegal. Bahkan di antara yang terseleksi ketat, kita tidak bisa mengukur daya tahannya dalam menghadapi tekanan majikan. Karena kita tidak tahu apakah majikan juga diseleksi, ikut aturan.

Sebagian dari suku bangsa Indonesia pantang dipegang kepalanya, dan siap bertaruh nyawa untuk menjaganya. Perempuan kita pun rata-rata tak sudi dilecehkan dan siap mempertaruhkan nyawa untuk mempertahankan kehormatannya.  Dan itu tidak salah.

Sementara itu, sebagian majikan di Arab masih belum cukup beradab, belum berpikir modern. Mereka mempekerjakan TKI layaknya budak belian di zaman Jahiliyah,yang dituntut bekerja dari Subuh hingga tengah malam, tanpa istirahat, dengan fasilitas seadanya. Aturan memang ada, tapi di balik tembok rumah mereka sendiri, persetan dengan aturan. Suasana hati majikan adalah aturan dan penentunya.

Bahkan, karena dianggap budak belian, maka TKI dianggap boleh digauli, disetubuhi, sebagaimana budak di zaman Jahiliyah.

Kita tahu seberapa besar upaya pemerintah dan warga di sini untuk menyelamatkan Satinah dan TKI lainnya. Tapi kita tidak tahu seberapa besar upaya Pemerintah Arab dalam membujuk warganya agar tidak jadi pemeras, agar tidak memanfatkan kehormatan pemerintah negara asing, yang menguntungkan mereka, memperkaya diri dengan uang darah. Hidup makmur dari Diyat, setelah kehilangan nyawa anggota keluarganya.

Pemimpin dan diplomat Indonesia sudah memaparkan upaya maksimal dalam menyelamatkan Satinah. Saya percaya. Kehormatan bangsa memang penting. Tapi kita tidak boleh menyerah pada pemerasan.

"Jangan mau ditipu Arab, " kata orang kita di zaman dulu. Di zaman sekarang: jangan mau diperas majikan Arab!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline