PARTAI-parta Islam, yang berkesan seram, disegani, tapi makin merosot suaranya di bilik pemilu, akhirnya melabuhkan harapannya pada duet Prabowo-Hatta dan juga Jokowi-Jusuf Kalla. Main dua kaki.
Tak cukup bernyali partai partai Islam di negeri mayoritas Muslim ini, untuk bikin koalisi sendiri dan mengangkat Capres Islam sebagaimana yang kerap digembar-gemborkan. Faktanya, mereka cuma omdo. Sadar diri minim logistik dan warga mayoritas nasionalis di Indonesia tak bisa dibodohi oleh bendera Islam jadi-jadian. Islam yang diatas-namakan.
Kehadiran para petinggi PKS, PPP, PAN, dan PBB duduk bersama menghadiri deklarasi Capres-Cawapres Prabowo-Hatta yang digelar di Rumah Polonia, Jakarta Timur, Senin (19/5), dan pimpinan PKB di Gedung Joeang, hanya menegaskan posisi mereka sebagai predikat, dan pelengkap. Bukan subjek.
Partai-partai yang giat menjual Islam itu - tapi praktik kesehariannya jauh dari Islami - akhirnya tercerai berai dan kini harus mengemis kemurahan hati kaum nasiponalis, abangan, yang menyadari Indonesia tidak pernah diselesaikan oleh partai agama. Karena dalam perjalanan sejarah mereka hanya menjadi beban.
Tak ada pilihan lain, partai-partai Islam memberikan dukungan dan berharap dapat kursi eksekutif, menteri, dan semacamnya, kepada pasangan yang bertarung itu.
Dalam deklarasi Prabowo dan Hatta tampak hadirKetua Umum PKS Anis Matta, Ketua Majelis Syuro Hilmi Aminuddin, dan Ketua Majelis Pertimbangan PAN, Amien Rais, juga hadir dalam deklarasi petinggi PPP Suryadharma Ali, dan MS Ka'ban dan Yusril Ihza Mahendra dari Partai Bulan Bintang.
Jokowi dan Prabowo jelas mewakili dua arus kekuatan politik besar, yang mengakomodasi mayoritas warga Indonesia. Kelompok abangan yang meyakini bahwa partai agama sudah tak sesuai zaman. Kini tinggal dipertanyakan, mana diantara keduanya yang benar-benar berkomitmen pada menciptakan Indonesia yang bersih, menjaga kepentingan nasional Indonesia dari tangan elite intoleran dan menjajah indonesia ?
Jokowi mewakili arus rakyat, nasionalis, yang akomodatif pada semua suku dan agama. Sementara itu, Prabowo baru sebatas “menjanjikan” nasionalisme, dan “menjanjikan” kesejahteraan, serta melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan asing di Indonesia. Menjanjikan karena aksinya belum terbukti nyata.
Reputasinya sebagai Komandan Kopassus di era Orba yang menculik dan menghilangkan aktifis dan mahasiwa menjadi beban bagi bangsa, jika dia terpilih memimpin Indonesia. Sampai sekarang tak ada visa dari Amerika Serikat untuknya. Mungkin sampai dia dinyatakan terpilih sebagai presiden RI.
Sedangkan Jokowi adalah generasi baru, generasi rock metal yang tidak punya beban sejarah. Masa lalunya bersih, tak punya hutang, dan tak mencampurkan bisnis dan politik. Suka bekerja keras dan bersahaja.
Kini dapat kita saksikan, siapa yang sungguh-sungguh memperjuangkan kepentinganrakyat terbanyak, yang selama ini dikuasai kaum elitis yang “syur” sendiri, koruptor yang tak peduli dengan rakyat banyak, sibuk poligami dan memperkaya diri.
Siapa pun yang berkuasa kelak, semoga jangan ada yang menjual partai Islam untukkedok memperkaya diri dan berkhianat . Kasus PKS, yang menjual konsesi impor sapi untuk memperkaya diri, poligami, memperbanyak isteri, semoga menjadi yang terakhir. Jangan biarkan Islam dijual begitu murah untuk kepentingan elite ustadz antek Mesir yang munafik.
Selain itu, Islam tidak boleh identik dengan terorisme. Untuk itu, aksi terorisme yang mengatasnamakan umat Islam harus dibasmi. Orang-orang yang berteriak “Allahu Akbar”, tapi membunuh sesamanya, warga tak berdosa, mengkafirkan golongan yang tak sekeyakinan sesuka hati, mencari fa’i dengan merampok toko emas dan bank, harus disuka-bumikan. Kasus Boko Haram di Nigeria semoga tidak sampai di sini.
Indonesia ke depan harus memperkuat KPK, BNN dan Densus 88, memperkuat UU Antikorupsi, Antiterorisme, Anti Narkoba demi menjaga kedaulatan negeri kita agar menjadi negeri maju, modern, dan berwatak Indonesia. Bukanjajahan Timur Tengah.
Jangan biarkan ada peluang berdirinya negara agama, penerapan syariah, yang diskriminatif, anti toleran, anti golongan yang berbeda. Indonesia bukan Iran dan Irak, yang warganya saling bunuh satu sama lain, karena saling mengkafirkan dan memborong Allah atas nama Sunni dan Syiah, atau sebagaimana yang mereka pikirkan tentang Allah untuk mereka sendiri, dan bukan Allah yang merupakan milik kita semua.
Tampilnya dua calon yang sekilas nampak nasionalis melegakan. Jokowi jelas tak perlu diragukan. Bersih, merakyat, bersahaja dan bekerja keras. Prabowo ambisius, tak sabaran, temperamental, meski terus memperbaiki karakter negatifnya.
Tinggal kita mengamati, apakah setelah dikelilingi para elite partai Islam, Prabowo tak berubah pikiran, “kumat” kembali menjadi TNI Hijau yang anti dengan tentara Merah Putih. Anti Kelompok Bhineka Tunggal Ika.
Setidaknya tampilnya dua nasional putih di Gedung Joeang dan Polonia merupakan langkah awal yang baik, untuk mencegah kelompok Islam garis keras, intoleran berkuasa, ngotot bersyariat Islam, yang rasanya sulit diwujudkan karena memang tidak sesuai dengan watak bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi kebhinekaan, mengakomodasi perbedaan suku, agama, ras dan golongan.
Mari berharaplah kepada Allah SWT, agar kemenangan di tangan nasionalis bersih, moderat toleran, untuk Indonesia yang maju, menjadi Macan Asia, bukan menjadi Taliban di Afganistan. Atau menjadi Mesir, Nigeria dengan Boko Haramnya, apalagi menjadi Somalia, yang sudah jadi negara gagal, karena lebih ngetop sebagai negeri perampok ketimbang negeri Islam. Amit-amit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H