Lihat ke Halaman Asli

Matias Rico Adi

Ordinary person

Sengkuni Mengkripik

Diperbarui: 8 Desember 2021   11:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Siang ini terasa pilu, keriuhan jalan membuatku ngilu dan pandanganku disajikan perbuatan keliru. Sejak berkenalan dengan kota ini, aku sudah mulai terbiasa dengan segala watak dan sifatnya. Namanya Semarang yang ku artikan asem dan arang, tak heran semua terasa pahit getir pandemi di kota ini, melebihi pahit getir hidup ku yang merana ini.

Bim,bim,bim... klakson truk pantura menghentikan keluhanku dan memaksaku meninggalkan tempatku berhenti. Batinku berkata, beginilah nasib orang kecil, tak pernah dihargai dan selalu disalahkan, tanpa mikir orang kecil ini memiliki otak setajam parang. Dalam keheningan batin aku mencoba mengencangkan motor legenda yang kutunggangi dan menghantarku tiba di warung cik Veni yang suka mengutang kripik buatan bapak. Warung Cik Veni sangat jadi idola di tembalang barat. Dasar cina pelit celetuk ku dalam hati, ia orang yang licik, punya uang tapi tidak mau membayar.

"Mas seng paling ganteng, aku mengutang lagi ya.", kata cik Veni yang tersenyum manis sambil mempersilakanku duduk.

            "Waduh.., cik jangan dong yang kemarin saja belum dibayar loh, klo tambah  ini berarti 500K, kalau begini terus bisa bangkrut bapak," sanggah ku..

Ku terpaksa duduk di sudut kanan warung itu, tepat di hadapan laki-laki paruh baya. Aku memandang kondisi sekitar dengan rasa heran dan bertanya-tanya, bagaimana bisa di kondisi pandemi seperti ini warung cik Veni masih ramai dikunjungi banyak pelanggan? bagaimana bangsa ini mau sembuh jika antek-antek di dalamnya seperti ini? Lagi-lagi teriakanku dalam hati buyar karena cik Veni tiba-tiba menyodorkan handphone kepadaku.

"Mas Kun, ini ada telpon dari bapak." celetuk cik Veni

Tanpa berkata-kata aku langsung mengambil handphone itu dari genggaman cik Veni.

"Halo pak, gimana kok gak telpon lewat handhone Kuni?" kata ku dengan penuh kebingungan.

"Begini nak, Bapak paham kita sekarang masih butuh uang untuk bayar utang, tapi kamu gak boleh maksa pelanggan kita untuk bayar segera, karena mereka juga butuh uang Kun, apalagi masa pandemi seperti ini," kata Bapakku.

"Iya pak aku paham kalau masa pandemi seperti ini banyak orang kesulitan, tapi aku gak mengerti maksud bapak kalau aku memaksa pelanggan kita." kata ku.

"Begini nak, gak papa kalau cik Veni masih mengutang, kasian dia masih ada ha-hal yang harus dipenuhi." kata Bapakku

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline