Lihat ke Halaman Asli

Pengawalan Omong Kosong terhadap Ekspresi Budaya Tradisional

Diperbarui: 5 November 2022   08:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ilustrasi Indonesia sebagai Negara Berbudaya." Gambar milik  www.vecteezy.com yang diakses pada 4 November 2022 oleh Penulis.

Pemerintah melalui Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mengatur tentang bagaimana pengakan hukum terkait hak cipta bagi inventor beserta segala jenis kewajiban dan larangannya, begitu pula dalam Pasal 38 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang kemudian disebut dengan (UUHC) menyebutkan, Hak Cipta atas ekspresi budaya tradisional dipegang oleh Negara.

Sebelumnya, mari kita pahami terlebih dahulu apa itu Ekspresi Budaya Tradisional, Ekspresi Budaya Tradisional adalah segala bentuk ekspresi karya cipta, baik berupa benda maupun tak benda, atau kombinasi keduanya yang menunjukan keberadaan suatu budaya tradisional yang dipegang secara komunal dan lintas generasi.

Dapat diartikan pula bahwasanya, hakikat dari Ekspresi Budaya Tradisional yang kemudian disebuat dengan EBT dilahirkan secara turun-temurun sebagai warisan dari kelompok masyarakat pengembannya.

Namun penulis mengira ada ketidak bakuan dalam pengawalan EBT melalui UUHC, sebab dalam Pasal 38 ayat (2) UUHC menyebutkan Negara wajib menginventarisasi, menjaga, dan memelihara ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Sekilas dari penggalan pasal tersebut kita akan berasumsi bahwa negara sebagai penjamin dan pelindung EBT telah menjalankan tugasnya dengan baik, atau dengan prosedur yang berlaku saja.

Hemat penulis, hal seperti inilah yang kemudian menjadi interpretasi kalangan akademisi maupun pegiat di bidang budaya tentang, 'apa yang dapat negara lakukan dalam menjaga Ekspresi Budaya Tradisional?'

Sebelum lanjut, mari kita ketahui terlebih dahulu konsep sederhana dari UUHC, Hukum Hak Cipta mengakui perlindungan Hak Cipta secara otomatis, ketika telah terwujud dalam bentuk nyata, sedangkan EBT dalam perjalanannya, hanya dimaknai sebagai warisan budaya yang Hak Ciptanya dipegang oleh Pemerintah, serta tidak dijaminnya hak masyarakat adat secara pasti sebagai pengemban EBT atas Hak Moral maupun Hak Ekonomi yang timbul dari adanya Hak Ekslusif dalam Hak Cipta.

Konsep UUHC yang telah penulis paparkan di atas memiliki perbedaan fundamental dengan konsep EBT, sebab pemerintah sebagai otoritas tertinggi dalam pemegang Hak Cipta EBT tidak mengeluarkan peraturan turunan yang menjelaskan bagaimana seharusnya EBT dipertahankan sebagai identitas dan warisan budaya, lebih lanjut jika mengacu pada Pasal 38 ayat (3) yang menyebutkan, "Penggunaan ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat pengembannya." Seolah menggambarkan tentang situasi dimana pemerintah memperhatikan elemen masyarakat adat sebagai satuan komunal pewaris Ekspresi Budaya Tradisional pada kaitannya Hak Moral maupun Hak Ekonomi, walau kenyataannya dalam beberapa kasus yang terjadi tentang pengakuan sepihak oleh pihak ilegal masih kerap ramai digunjingkan, seperti misalnya yang terjadi pada Batik yang pernah diklaim sepihak oleh negeri jiran Malaysia, kemudian Reog Ponorogo pernah memanaskan suasana hubungan Tanah Air dengan negara yang sama yakni Malaysia, juga Lagu Rasa Sayange yang berasal dari Maluku pernah dikomersilkan oleh Malaysia pada salah satu iklan Pariwisata milik negara tersebut, dan masih banyak lainnya.

Perbedaan mencolok akan konsep fundamental dari UUHC dan EBT telah kita ketahui menimbulkan konflik kepentingan yang belum ditemukan solusinya, hal tersebut juga dapat terjadi akibat konsepsi "Droit de Suit" yang disepakati oleh Perancis sebagai pertumbuhan dari Hak Moral.

Perancis yang menjadi representasi negara maju di belahan eropa, dapat mempengaruhi sebagian negara-negara berkembang, alih-alih bertujuan untuk mengawal Hak Moral, justru pemaknaannya kadang tidak sesuai dengan situasi dan kondisi di berbagai negara.

Artinya, kejadian tentang klaim sepihak yang dilakukan oleh Malaysia barangkali akan disifati merupakan sebuah kewajaran, apabila pada kancah internasional beberapa negara menerapkan prinsip "Driot de Suit" yang mana memiliki arti "Right to Follow" dengan penjelasan bahwasanya hak yang terus mengikuti pemilik benda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline